Haruno Sakura POV
Rabu
Aku tersenyum menerima buket bunga mawar putih dari tangan sang kurir. Memberikan tanda tangan pada bagian tanda terima lalu menutup kembali pintu setelah pria itu mengucap terima kasih. Ada sebuah kartu ucapan terselip di antara rimbun bunga. Aku mengambilnya, membuka, membaca tulisan tersebut lalu memutar bola mata jengah. Buket mawar putih berakhir di tempat sampah setelah aku melemparnya beberapa detik lalu.
Playboy gila di ujung gang yang mengirimnya. Shimura Sai, kekasih Ino rekan kerjaku. Mungkin seharusnya aku memberikan pelajaran dengan mengatakan hal ini pada Ino esok hari. Setidaknya agar gadis itu tahu bahwa kekasihnya juga memiliki selera terhadap seorang wanita yang memiliki putra berusia tujuh tahun. Sungguh menyebalkan.
Aku berjalan kembali ke ruang tengah tempat di mana seharusnya ayah dan Hiroshi berada, tapi nihil. Mereka sudah tidak berada di sana. Dahiku mengernyit, namun beberapa detik kemudian ayahku muncul dari balik pintu kamar Hiroshi. Mengatakan bahwa bocah kecil itu tertidur dan kurasa ia memang terlalu lelah. Aku tahu. Ia akan tertidur lebih cepat dari hari-hari biasanya karena jadwalnya yang cukup padat.
Aku mengangguk mengiyakan, duduk di salah satu sofa dan menunggu sesi berbincang dengan ayah. Sofaku berwarna biru tua dan aku tidak begitu peduli jika terlihat tidak cocok dengan cat dinding abu-abu tua yang mengelilingi rumah ini. Aku buruk dalam hal interior, bahkan membedakan desain shabbychic dan scandinavian pun masih butuh bantuan peramban. Aku menghela napas memperhatikan ayahku yang masih tidak bergeming dari posisinya tadi. Namun setelah aku menatap kedua netranya, ayah justru membuat perasaanku jatuh ke dasar jurang.
"Kurasa sudah saatnya membuka hati, Sakura. Ini sudah tahun ke tujuh." Ayah mendudukkan diri di sofa seberang. Menatap dalam-dalam berusaha menyelam ke dalam manik mataku. Aku tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Memilih merebahkan kepala yang terasa memberat setelah ayah mengungkit topik paling sensitif itu.
Entahlah. Memiliki kenangan buruk dengan seorang pria nyatanya mampu membentuk sebuah karakter baru dalam diriku. Akan tetapi ketika seorang kembali mengungkit masalah itu, nyaliku belum cukup kuat untuk menerima. Hatiku masih terlalu lembek dengan urusan masa lalu. Aku mendesah lelah.
"Hiroshi butuh sosok ayah sungguhan. Bukan ayah yang hanya didengar kehebatannya karena dia adalah seorang pilot. Kau pasti mengerti hal itu, kan?"
Aku mengangguk setuju namun tidak berusaha menimpali perkataan ayah. Kilas-kilas masa lalu memenuhi otak. Terasa aneh mengingat seharusnya aku sudah melupakan segala hal yang membuat hatiku menjadi serentan ini. Sungguh sulit rasanya membuang semua kenangan meski tujuh tahun telah berlalu. Aku bahkan tahu bahwa momen itu sudah hampir delapan tahun berlalu.
"Tidak ada salahnya untuk berpikir ulang, Sakura. Temukan pria lain yang membanjirimu dengan kasih sayang, dan tentunya memperlakukan Hiroshi seperti darah dagingnya sendiri. Ayah yakin kau juga butuh sosok pendamping." Ayah menepuk pundakku sesaat sebelum beliau berpamit istirahat. Tidak lagi menoleh padaku yang sudah porak-poranda. Air bening meluncur bebas dari sudut mata. Konyol. Aku bahkan tidak bisa membendung tangis yang telah menganak-pinak.
Seorang yang mampu memperlakukan Hiroshi seperti darah dagingnya sendiri? Apa masih ada pria seperti itu di muka bumi? Dan yang lebih kukhawatirkan adalah... apakah pria tersebut mau jatuh cinta pada seorang janda sepertiku?
Kamis
Saat pulang kerja aku terkejut bukan main menatap pemandangan yang tertera di halaman belakang rumah. Jumper terkembang dengan Hiroshi melompat-lompat di sana sementara ayahku duduk di gazebo membaca koran pagi dan aku yakin beritanya sudah kedaluarsa; ini sudah lewat jam lima sore. Namun di antara semua hal normal yang biasa kujumpai, ada satu anak lelaki lain duduk manis di ujung gazebo, tengah memangku tangan menatap Hiroshi. Ekspresinya tidak terbaca dan terlebih lagi... ia mengenakan pakaian baru Hiroshi yang kubelikan beberapa minggu lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under These Skies (SasuSaku ver.)
Hayran KurguHidup mereka tidak sempurna; tentu saja. Satunya seorang dokter yang memiliki seorang putra, satunya lagi seorang yang giat bekerja dan memiliki satu anak pula. Kesamaan mereka ada di cacatnya hubungan sebelumnya. Dan bertemu ketika dua anak mereka...