Bab 16

89 18 6
                                    


Uchiha Sasuke POV

Kamis

"Utakata?" tanya Sakura. Ia seolah menerka-nerka ekspresi datar yang memenuhi wajahku. "Apa kau kenal pria itu?"

Aku mengangguk. Tidak sulit menebak teman kencan Hotaru karena sejak dulu mereka sudah dekat. Oh, Tuhan. Bahkan aku melupakan sebuah fakta penting di balik pernikahan kami bertahun-tahun lalu. "Dia seangkatan dengan Hotaru. Mereka berkencan sejak aku menginjakkan kaki di kampus."

Aku terdiam sebentar. Mendadak terbawa pada lubang masa lalu yang sudah kukubur jauh-jauh. Melintas waktu, menengok pada masa di mana aku dan Hotaru berdiri bersisian. Di depan altar, disaksikan puluhan orang.

"Kami menikah karena sebuah kecelakaan dan kupikir ia sudah mulai bisa menerimaku. Sampai saat Seiichi berumur empat tahun sikap Hotaru begitu berbeda." Ini benar. Kenyataan bahwa aku melabuhkan hati pada Hotaru sudah bukan rahasia lagi. Dan kenyataan bahwa ternyata Hotaru hanya menganggap aku perlu bertanggungjawab karena menebar benih padanya membuatku merasa tidak berguna.

"Oh, Tuhan." Sakura membelalak tidak percaya. Semua orang akan sangat terkejut mendapati fakta ini dan aku tidak begitu kaget ketika Sakura bereaksi demikian. "Jadi... kalian tidak menikah berdasarkan cinta?"

Aku menggeleng. Sulit menemukan cinta saat kami berdua sama-sama tersesat dalam kubangan duka waktu itu. Hotaru dicampakkan Utakata sementara aku baru saja ditolak oleh seorang yang kutaksir. Kami sama-sama sadar saat melewati batasan tapi kami juga tidak ingin menyudahi. Sampai dua bulan kemudian Hotaru datang padaku dengan testpack bergaris dua di tangan.

"Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan repot-repot menceraikanku dan memilih kembali pada Utakata." Aku sudah menelan kekecewaan ini dalam-dalam. Aku sudah menerima jika Hotaru tidak mungkin mempertahankan pernikahan ini jadi aku bisa berekspresi normal. Sekarang aku bahkan tersenyum di hadapan Sakura.

"Kau benar." Sakura menepuk pundakku tiga kali. Tersenyum memandangku lamat. "Kita tidak bisa memaksakan kehendak seseorang. Terlebih soal hati. Benar begitu, kan?"

"Kau tidak sedang mengatakan pengalaman pribadimu sendiri, kan?" Aku tertawa mengejek. Membuat Sakura memutar mata jengah. Wanita itu memukulku keras-keras. Aku bersumpah tenaga Sakura benar-benar seperti banteng marah.

Jum'at

Haruno Sakura dan Hiroshi tidak menginap malam tadi. Dan aku berusaha memaklumi hal itu karena, ya, mereka bukan siapa-siapa. Setidaknya aku masih berpikir rasional mengenai keposesifanku pada Sakura. Untuk apa? Aku sendiri belum mendeklarasikan diri akan mengklaimnya lebih jauh. Benarkah? Ya, aku sendiri tidak tahu dan mengapa aku harus repot memikirkan sesuatu yang belum seharusnya?

Aku berdecak. Memilih fokus mengemudi daripada mendapat teguran dua pria kecil yang duduk di kursi belakang. Sayup-sayup aku mendengar mereka berbisik tentang pertandingan sepak bola Hiroshi. Aku tersenyum kecil. Ketika mobilku berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, aku menoleh ke belakang. Tersenyum pada keduanya yang memilih kembali duduk tegak.

"Kapan pertandingannya berlangsung?" tanyaku langsung pada inti. Kembali menghadap depan, memerhatikan keduanya lewat spion tengah. Ketika lampu berubah hijau, aku menunggu hingga mobil di depanku bergerak dan aku kembali menekan pedal gas.

"Sabtu depan, Paman." Hiroshi berkata riang. Namun secepat kilat ia mampu mengubah ekspresi tenang itu dengan sebuah kekecewaan mendalam. "Tapi aku tidak tahu apakah kakek bisa menemaniku saat pertandingan nanti."

Aku menimbang. Sejujurnya tidak mengerti dengan pola pertandingan anak-anak yang memerlukan orang dewasa sebagai sokongan. Lalu aku mengerti bahwa mungkin saja Sakura tidak tahu menahu mengenai bola dan tentu saja tidak ada lelaki dewasa yang bisa menemani Hiroshi selain sang kakek. Aku menepikan mobil ketika mendekati gerbang sekolah. Menghentikan tepat sepuluh langkah dari gerbang itu sendiri.

Under These Skies (SasuSaku ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang