Bab 15

119 20 11
                                    

Haruno Sakura POV

Kamis

Aku terbelalak dengan mulut setengah terbuka. Menatap Seiichi lalu kembali merotasikan netra pada sepasang kekasih tidak tahu tempat bermesraan itu lamat-lamat. Ada perasaan sesak ketika aku menatap raut wajah sendu Seiichi. Seolah cita-citaku sewaktu kecil ingin melompat dari kurungan hati dan menunjukkan eksistensi.

Aku ingin menyelamatkan dunia. Menyelamatkan anak-anak yang tidak memiliki orangtua lengkap sama sepertiku. Menjadi Power Rangers Biru keren dengan hewan ajaib berupa kucing manis. Oh, bahkan tawa remeh Neji, Naruto, dan Rock Lee benar-benar terdengar di telinga.

Peringatan dalam tubuhku membunyikan sirine siaga satu. Berharap agar aku tidak mencampuri urusan orang lain seperti hari lalu. Namun aku menatap Seiichi sekali lagi. Semakin bersalah karena ia hanya memandang getir tanpa berusaha membuka suara. Aku tidak bisa diam saja. Aku tidak bisa membiarkan tanggungjawabku terluka.

Aku menghela napas. Berdeham keras-keras, cukup didengar pasangan menyebalkan di depan sana. "Maaf atas kelancanganku, Tuan dan Nyonya. Tapi pemandangan barusan tidak cocok dikonsumsi oleh anak-anakku."

Suaraku lantang tanpa adanya getar dan sengaja menekankan kata anak. Wanita itu terkejut menatap Seiichi namun ia tidak melakukan apa-apa. Sementara kekasihnya hanya memutar mata jengah. Dan Hiroshi yang tidak tahu menahu tentang keadaan menjinjing sebelah alis. Berusaha mengajukan tanya padaku.

"Oh, maaf. Kami tidak tahu bahwa Anda serta anak-anak Anda sedang berbelanja di sekitar kami." Si pria ikut menyalak padaku. Aku mendecih tidak suka. Kemarahan dalam diriku semakin meluap saat ibu Seiichi tidak menunjukkan tanda-tanda ingin membela sang anak. Atau tanda jika ia mengenali putranya sendiri.

Pengecut. Sebagai seorang wanita seharusnya ia malu dengan dirinya. Jika aku jadi wanita itu, aku akan membeberkan pada dunia bahwa aku memiliki seorang putra. Yang tampan, yang berkharisma, yang manis dan yang kucintai lebih dari hidupku sendiri. Tapi mengapa dia tidak melakukannya? Oh, aku tidak akan terkejut jika suatu saat nanti Seiichi berpura tidak mengenali sang ibu. Dia pantas mendapatkan lebih dari ini.

Aku tersenyum remeh. Mengambil saus tomat ukuran dua ratus tujuh puluh lima mili tidak jauh dari mereka. Akan tetapi aku tidak berusaha menanggapi. Justru melenggang santai kembali pada troli. "Well, anak-anak. Mari kita tinggalkan mereka yang tidak tahu menahu tentang cara berperilaku di hadapan anak kecil. Aku yakin kalian sudah lapar sekarang."

Bibirku mendaratkan ciuman ke pipi-pipi Hiroshi dan Seiichi. Melirik sekilas pada sang wanita yang mengeraskan tatapan padaku. Persetan dengan ibu sepertimu, Sialan. Ujarku dalam hati. Aku merasa menang dengan membiarkan anak-anak berjalan di depan troli. Seiichi tersenyum manis. Memberi ucapan terima kasih dalam diam.

Sesuatu dalam diriku bergejolak lagi. Sekilas Seiichi mirip denganku; tidak memiliki ibu yang akan melambungkan namanya tinggi-tinggi saat mendapat peringkat kelas. Namun tidak juga. Seiichi memiliki ibu, setidaknya sampai ia berusia lima tahun, sementara aku tidak sama sekali.

Aku mendorong troliku dengan senyum getir. Ulang tahunku sama seperti hari kematian ibu. Dan setiap kali aku merayakannya, aku tidak tahu harus merasa senang atau justru merasa ingin menangis. Nenekku selalu memasak sekaligus; perayaan ulang tahun serta peringatan kematian. Dan aku baru tahu hal ini saat usiaku menginjak tujuh tahun. Sangat tidak adil bukan?

Hiroshi dan Seiichi membantuku membongkar troli ketika kami sampai di kasir. Aku tersenyum mengusap surai keduanya seraya berbisik, "Setelah ini Paman Neji akan mentraktir kita, Sayang."

Dan sesuai dugaanku mereka melompat kegirangan. Aku membayar bill yang tercetak pada monitor, mengabaikan fakta bahwa aku belum sempat berbelanja pakaian. Biarkan saja. Sasuke akan memaklumi hal ini jika Seiichi buka mulut.

Under These Skies (SasuSaku ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang