Bab 4

139 30 6
                                    

Uchiha Sasuke POV

Minggu

Suhu tubuhku naik atau mungkin kamarku yang terlalu panas. Aku tidak tahu. Rasanya seperti terjebak dalam hal yang tidak kausuka selama bertahun-tahun. Dan ketika aku memaksa bangkit dari kekasihku—maksudku, ranjang—kepalaku seakan berteriak secara tidak langsung. Denyut nyerinya bahkan merasuki semua sel tubuh. Mengerang, aku kembali menjatuhkan tubuh. Brengsek.

Kombinasi antara lembur satu minggu penuh dengan pasien membludak, ditambah—seharusnya—libur dua hari berujung kerja bakti dadakan sampai sore tadi, dan guyuran hujan, dan tetap mengenakan baju basah selama satu jam bukan komposisi yang baik. Otot-ototku seakan mati rasa; aku tidak mengerti mengapa tubuhku jadi selemah ini hanya karena rasa capek.

Pintuku diketuk kuat-kuat dan aku hanya mengerang, bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena rasa sakit ini begitu memilukan. Aku hanya berharap siapa pun yang ada di balik kayu cokelat itu mengerti keadaanku sekarang. Dan bukannya terbuka, ketukan itu berakhir pada kali ke tujuh. Aku kembali mengumpat. Mungkin aku akan sekarat sekarang juga.

***

Ada yang menemukanku merintih serta mengumpat empat jam lalu. Dan Seiichi benar-benar khawatir; ia bahkan tidak mau turun dari ranjang sejak pukul delapan malam. Sesuatu yang tabu untuk seorang putra dari Uchiha Sasuke yang terkenal dingin pada semua orang.

Aku mendesah.

Tissu berserakan di lantai, nakas, atas selimut dan di mana saja. Selimut dan linen belum juga diganti. Tubuhku berkeringat namun aku belum merasakan tanda-tanda akan membaik. Ini konyol. Aku sudah meminta Bibi Ayame menebus resep obat yang kubuat—aku menolak diperiksa dokter lain—dan sudah meminumnya sesuai aturan. Aku tidak mengerti. Aku hanya terkena flu biasa. Aku hanya terkena flu biasa. Brengsek.

"Ayah, mana seribu yen-ku?" Seiichi mendengar umpatanku barusan. Pria kecil itu meneleng ke kiri, merangkak naik ke tubuhku, menarik-narik dompet yang menyembul dari saku kemeja yang kugantungkan di sisi kiri ranjang. Setelah berhasil mengambil seribu yen, ia memberikan kembali dompet padaku. Menenteng lembaran itu ke udara lalu berkata, "Berhentilah mengumpat, Ayah. Aku bisa membeli pesawat terbang sungguhan dengan uang denda itu."

Ada peraturan khusus yang diterapkan dalam keluargaku tentang larangan mengumpat di hadapan anak kecil. Jadi siapa saja yang terang-terangan mengumpat di depan Seiichi, bersiap-siaplah kehilangan seribu yen dari dompetmu. Ini terdengar konyol namun efektif mencegah seseorang meracuni otak polosnya dengan hal-hal kotor. Dan aku bersyukur bahwa itu bisa membuat kebiasaan mengumpatku sedikit menurun ketika di rumah.

Aku mengusap rambut hitam Seiichi lalu tersenyum lembut. Kekehan pria kecilku ini terdengar seperti melodi indah pembakar semangat. Kepalaku mengangguk-angguk kecil mengikrar janji. Ya, aku harus mengangguk untuk kebaikannya. Meski aku tidak sepenuhnya berjanji berhenti mengumpat karena mulut kotorku terlalu menyebalkan.

"Tidurlah, Seiichi. Ini sudah larut malam," tukasku mengganti kompres, berharap Seiichi segera terlelap saat aku kembali berbalik ke arahnya. Namun ia adalah putra Uchiha Sasuke yang keras kepala seperti ayahnya, oh Tuhan, apakah aku baru saja mengejek diriku sendiri? Sepasang mata onyx itu menggeleng tegas. Kemudian melingkarkan tangan di sekeliling pinggangku.

"Hiroshi berkata ia selalu didekap ibunya jika demam dan itu berhasil membuat demamnya turun esok hari. Bisakah aku mencobanya pada Ayah?"

Dan senyuman terbit begitu saja di wajahku. Pria kecil ini sungguh mengejutkan. Jiwa mudah bersosialisasinya sama seperti ibunya. Aku mengangguk mengiyakan ucapannya yang ingin memelukku semalaman. Kurasa mungkin mengenal Hiroshi tidak sepenuhnya buruk. Atau hanya aku saja yang menganggap pertemanan mereka terlalu mengada-ada. Setelah lima belas menit berlalu, Seiichi sudah terlelap dan aku segera menyusulnya tidur.

Under These Skies (SasuSaku ver.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang