16. Rencana Move On

71.5K 6.6K 206
                                    

Hanya berdua di satu ruangan bersama Agam memang benar-benar menguras energi. Cia yang memang bukan orang pendiam mulai gelisah karena rasa tak nyaman. Kecanggungan yang terjadi sangatlah terasa. Apalagi Cia sudah menyelesaikan pekerjaannya dan terpaksa harus menunggu Agam selesai dengan pekerjaannya.

Cia mengalami perang batin saat ini. Jujur, di dalam hati yang paling dalam dia senang bisa melihat Agam secara dekat. Namun dia tidak boleh terlena. Cia tidak mau kembali jatuh ke titik terendah hidupnya seperti dulu. Dia tidak mau kembali ke masa-masa di mana dia menangis setiap malam karena patah hati.

Seperti ucapan Febi. Cia harus bisa melupakan Agam. Dia harus profesional mulai saat ini. Cia tidak akan membiarkan dirinya kembali terjebak pada perasaan yang membuatnya terpuruk.

Cia menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya dengan gelisah. Sudah jam tujuh malam dan tidak ada tanda-tanda jika Agam akan menyelesaikan pekerjaannya.

Dari jauh, Cia menatap Agam dengan bibir yang maju. Meskipun pekerjaannya sudah selesai tetapi dia tidak bisa pulang. Takut jika pria itu akan membutuhkannya, dalam pekerjaan tentu saja.

"Untuk hari Jumat jam berapa jadwal saya kosong?" tanya Agam tiba-tiba.

Benar bukan? Pria itu memang tak terduga.

Dengan cepat, Cia membuka ponselnya untuk melihat jadwal Agam yang sudah ia susun sampai akhir pekan.

"Di jam makan siang sampai pulang, Pak."

"Kalau gitu kamu buat janji sama dokter."

"Pak Agam sakit?" tanya Cia khawatir.

Sialnya Agam langsung menatapnya. Cia berdeham pelan agar kembali tenang. Dia lupa dengan janjinya sendiri untuk tidak peduli dengan Agam.

"Medical Check Up," jawab Agam singkat.

Entah kenapa Cia merasa lega mendengarnya. Ia pikir tubuh Agam sedang tidak dalam kondisi baik. Tak salah jika Cia berpikiran seperti itu karena dia tahu betapa gila kerjanya Agam selama ini. Bahkan kadang Cia membutuhkan bantuan Febi untuk memijat punggungnya atau sekedar menempelkan koyo.

"Baik, Pak. Nanti saya buatkan janji."

Agam menutup berkas terakhirnya dan mulai bersiap-siap.

"Kamu boleh pulang."

Cia menghela napas lega. Dengan cepat dia meraih tasnya dan pamit untuk pergi. Dia bahkan sudah membereskan barangnya sejak 30 menit yang lalu.

"Saya duluan, Pak. Permisi."

Melihat Cia yang tergesa membuat Agam menatap kepergian gadis itu bingung. Namun dia mengedikan bahunya tak acuh dan kembali membereskan barangnya.

***

Di luar kantor, Cia duduk di kursi tunggu sambil sesekali melirik jam tangannya. Dia pikir dirinya yang terlambat, tetapi ternyata Leo jauh lebih terlambat. Sedikit memberikan kesan negatif untuk kencan pertama.

Kencan? Benarkah mereka akan berkencan?

Cia menggelengkan kepalanya cepat karena pikiran gilanya. Terlalu cepat jika menyebut pertemuan ini sebagai kencan. Bisa saja mereka akan lebih nyaman menjadi seorang teman. Namun entah kenapa, Cia menaruh harapan lebih pada kencan buta yang Febi buat. Dia benar-benar ingin mengenyahkan nama Agam dari pikirannya.

"Pesankan saya taksi," ucap seseorang di belakang Cia.

Cia menoleh dan melihat seorang pria yang tengah memainkan ponselnya. Terlihat angkuh karena pria itu tidak menatapnya sama sekali.

Positif Cuek 100% (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang