"Aku ingin menjadi seseorang yang dikirim Tuhan untuk menjaga kamu sampai aku ditelan oleh tanah"
Kalimat itu terlontar keluar dari mulutnya untukku, dengan suara yang amat sangat lembut. Mahen Koswara Putra Kusuma namanya, anak laki-laki aneh peny...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku belum melawati titik terhancur ku. Semesta menyuruhku agar kuat, karena ia tau aku adalah peran yang hebat" -Mahen.
Halo, kumaha damang sadayana? Ini Mahen lebih tepatnya lagi Mahen Koswara Putra Kusuma. Chapter ini khusus untuk tulisan dari luka-luka Mahen. Tidak semua, mungkin hanya beberapa penggalan.
•
•
•
"Bunda... Mau kemana?" Aku memegang jemari lentiknya, air mataku tak kunjung pupus dari pipi. Bertanya dengan nada lirih dan suara yang bergetar hebat, rasa sedih hingga takut tak luput dari Sang penampung sejarah hidup.
"Jangan pergi... Mahen sama Cadas gimana, Bun? Mahen sayang Bunda..."
"Nanti Bunda sama siapa? Mahen nggak bisa lindungin Bunda..."
"Waktu itu Bunda janji kan nggak akan ninggalin Mahen sama Cadas? Bunda sudah janji akan selalu sama kita, tepati Bun..."
Seakan tidak ada rasa iba padaku, Bunda hanya diam lalu menghempaskan tangannya kasar dari genggaman tanganku yang penuh dengan bekas luka.
Bunda pergi begitu saja dari hadapanku meninggalkan kami, aku, Bapak dan juga Cadas yang tengah menangis di dalam rumah. Air mata ini tidak kunjung berhenti mengaliri pipiku dan membanjiri kedua mataku.
"EREK KAMANA SIA IMAS?! MAWA ATUH BARUDAK SIA JALANG!"
(MAU KEMANA LO IMAS?! BAWA DONG ANAK-ANAK LO JALANG!)
Bapak berteriak sembari berlari mengejar Bunda yang sudah hampir menjauh, Bapak membawa rotan yang biasa ia gunakan untuk memukuli aku dan Bunda.
Mengalihkan pikiran agar tidak peduli ternyata susah, ya? Aku selalu begitu, mengalihkan pikiran agar tidak peduli dengan mereka berdua, Bapak dan Bunda. Sekarang aku lebih memilih untuk masuk ke dalam rumah menemani Cadas dan memberikannya air putih lagi, aku tidak punya cukup uang untuk membeli susu.
Semenjak Bunda pergi semua hal yang harusnya menjadi tanggungjawab Bapak hanya dibebankan padaku saja, mulai dari bayar listrik, bekerja agar bisa makan, membayar hutang-hutang, dan lain sebagainya.
Kadang aku bekerja sebagai kenek angkot, mencuci piring di acara hajatan, jual cilok, jual koran, menjadi pengamen di jalanan, tak jarang aku kejar-kejaran dengan Satpol PP. Setiap aku bekerja aku selalu membawa Cadas karena tidak ada yang mengurusnya di rumah.
Aku tidak pernah menginginkan orang orang merasa kasihan padaku, aku membawa Cadas bekerja bukan untuk dikasihani. Bahkan aku sering di cap sebagai pengemis yang hanya memanfaatkan Cadas agar aku bisa mendapatkan banyak uang.