#13. Di luar Nalar

28 5 2
                                    

     Cahyo menghentakkan kakinya karena merasa kesal, "jhancog!" Umpat lelaki tinggi itu di depan ponsel dan juga di hadapan Gafian secara tiba-tiba.

"Salah ku opo toh? Kok kamu dadi koyo ngene seh tiba-tiba, Yo?"

(Salah ku apa? Kok kamu jadi kaya gini sih tiba-tiba, Yo?)

      Dengan segera Cahyo memberikan Gafian jawaban dengan memperlihatkan layar ponselnya pada Gafian, "Iki loh!" Tunjuk anak itu.

(Ini loh!)

      Setelah melihat layar ponsel dan membaca pesan itu, Gafian langsung tertawa dengan terbahak-bahak "BHAHAHAHA! Aaaaa kasian aaaaa" Entah mengapa, ketika melihat Cahyo seperti ini adalah sebuah kebahagiaan bagi Gafian, anak itu benar-benar tid...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


      Setelah melihat layar ponsel dan membaca pesan itu, Gafian langsung tertawa dengan terbahak-bahak "BHAHAHAHA! Aaaaa kasian aaaaa" Entah mengapa, ketika melihat Cahyo seperti ini adalah sebuah kebahagiaan bagi Gafian, anak itu benar-benar tidak berhenti tertawa ketika membaca pesan tersebut.

"Jhancog kowe, Gaf!" Rasanya ingin sekali Cahyo pukul lelaki itu menggunakan sendal mahalnya, mungkin bila Cahyo tidak punya rasa kemanusiaan dia akan melakukannya.

"Kamu kepengin tak gepuk, Gaf? Cuma aku seh udah kasian sama kamu soal'e kamu udah sering digepuki sama Bapak mu karena belajar sehari sekali, BHAHAHAHAHA!"

     Tentu saja Cahyo tak mau kalah dan balik meledek Gafian dengan kesengsaraannya, kalau begini Gafian jadi menyesal karena sudah meledek Cahyo.

"Aaaaa kasian aaaa" Ledek Cahyo sarkas.

"Sialan kamu, Yo! Kamu itu loh, dadi mirip sama warga Rohingya."

     Karena sudah terlanjur ngambek dengan Cahyo, Gafian pun berjalan pergi meninggalkan kamar Cahyo dengan wajahnya yang cemberut, "Aku mau pulang aja, aku baru belajar dua kali" Ucap Gafian lalu menutup pintu kamar Cahyo dengan sedikit keras.

"Jhancog kowe, Gaf. Harusnya aku yang ngambek karena kamu ledeki mirip warga Rohingya!"

"Eta si Megha lain, Ep?"

(Itu si Megha bukan, Ep?)

     Wijar menghentikan langkahnya dan juga Aep. Anak itu menunjuk ke arah belakang tembok, Wijar melihat teman kelasnya dulu waktu duduk di bangku SMP, kebetulan juga satu kelas dengan Aep.

"Lah he'eh, keur naon eta jelema? Nyedot naon eta anying?"

(Lah iya, lagi ngapain itu manusia? Nyedot apa itu anying?)

     Kedua mata Aep menyipit untuk melihat jelas apa yang sedang Megha lakukan. Tak mau munafik kalau memang kenyataannya mereka penasaran dengan kelakuan Megha.

"Samperin atuh, Ep" Titah Wijar.

"Hayuk atuh, masa aing sorangan?"

(Ayo lah, masa gua sendirian?)

     Akhirnya Wijar dan Aep berjalan mendekati Megha, mereka juga takut kalau Megha melakukan hal yang aneh-aneh, mengingat kalau semasa SMP Megha juga suka melakukan hal yang aneh-aneh ketika di sekolah.

"Meg" Panggil Aep dari arah belakang, tapi Megha tidak mendengar agaknya.

"Meg?" Wijar kembali memanggil tetapi Megha tidak kunjung mendengar, mungkin karena jarak antara mereka masih agak jauh dan suara Wijar juga kecil.

     Wijar dan Aep semakin mendekat dengan Megha, Aep menepuk pundak Megha yang membuat gadis itu terkejut lalu menengok ke arah mereka berdua.

"Astaghfirullah, istipar Megha istipar!"   Teriak Aep karena terkejut saat melihat mulut Megha penuh dengan cairan yang berwarna merah, Aep mengira kalau itu adalah darah.

"Heh! Keur naon maneh Megha? Kunaon eta mulut maneh?!" Tanya Wijar dengan nada yang ketakutan dan gemetar, sama dengan Aep, mereka masih terkejut dengan kejadian ini.

(Heh! Lagi apa lo Megha? Kenapa itu mulut lo?!)

"Yah ketauan..." Kata Megha dengan suara lirih juga panik, wajah Megha juga sama terkejutnya dengan Wijar dan Aep. Di tangan Megha terdapat liptint dengan sedotan kecil.

"Jelema gelo sia Megha! Teu aya makanan lain sia teh? Istipar"

(Manusia gila lo Megha! Nggak ada makanan lain lo? Istipar)

"He'eh aing kira kunaon sia, ternyata mah ngagado liptint!"

(Iya, gua kira kenapa lo, ternyata gadoin liptint)

"Tos atuh ah, mentang-mentang rasa stroberi"

(Udah ah, mentang-mentang rasa stoberi)

"Puncak rantai makanan ieu mah si Megha."

(Puncak rantai makanan ini mah si Mehga)

"Hehe... Ngeunah pisan abisnya a' "

(Hehe... Enak banget abisnya a')

Reaksi kami terhadap jawaban tersebut :






MAHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang