#16. Kisah Kasih

20 2 0
                                    

"Dian... Ari kamu meni geulis pisan sih?" Gombalan maut Wijar layangkan pada hati Dian, teman sekelasku. Terlihat jelas bahwa Gadis itu hanya tersenyum malu. Hatinya terbawa oleh arus rayuan manis Wijar.

(Dian... Kamu cantik banget sih?).

     Menurutku Wijar ini seperti orang yang nggak punya kerjaan, hari-harinya cuma diisi buat ke kantin dan keliling kelas, kelas yang paling sering Wijar kunjungi ya kelasku, untuk apalagi kalau bukan mau menggoda Dian.

"Jar, nggak keluar kelas maneh?" Ujaran pertanyaan aku lemparkan pada Wijar seraya menyenggol tangannya menggunakan siku.

"Nanti ah, Hen. Lamun Si Guruna teu ngali mah teu nanaon" Balas Anak itu tak takut sama sekali.

(Nanti ah, Hen. Kalau Si Gurunya nggak lihat mah nggak apa-apa).

     Gelengan kepala aku berikan sebagai respon alami tubuh atas balasan nyeleneh Wijar. Otak dan mataku kembali fokus pada pelajaran  yang tengah Pak Rukman sampaikan, guru sejarah ku.

"Kemarin Bapak lihat anak sekecil kalian sudah menggunakan narkoba!"

"Ah sudah besar atuh, Pak, kalau kita mah" Celetuk Wijar dengan suara pelan, hanya aku dan Tuhan yang dengar.

"Tidak boleh ada anak sekolah ini yang pakai narkoba ya!" Seru Pak Rukman.

"Ahdan pakai tembakau gorila tuh, Pak!" Adu Nahdan dan yang lain tertawa.

"Ah kalau Ahdan tidak pakai tembakau gorila juga sudah mirip gorila" Balasan nyeleneh Pak Rukman membuat seisi kelas tertawa termasuk aku, bahkan Ahdan pun juga ikut tertawa sambil memeragakan gaya gorila yang sedang memukul-mukul dadanya.

"Sudah sudah. Intinya hindari narkoba karena narkoba membunuh anak negeri!" Pungkas Pak Rukman.

"Untung kita mah anak swasta nya, Hen?" Gelak tawaku spontan pecah ketika Wijar bilang begitu dan karena itu Pak Rukman langsung memandangi kami berdua, terlebih lagi pandangan bingungnya pada Wijar.

"Kamu anak IPA kan?" Penggaris kayu yang dipegang Pak Rukman tertuju menunjuk Wijar yang berada di kursi belakang.

     Wijar mengangguk santai, "uhun, Pak" Katanya. Semua mata teman kelasku kini tertuju pada diri Wijar.

(Iya, Pak).

"Terus untuk apa kamu di sini? Ini kan kelas anak IPS. Keluar kamu!" Perintah tegas Pak Rukman itu membuat Wijar berdiri dari tempat duduknya dan perlahan berjalan ke depan papan tulis.

     Sorot matanya kini tertuju pada Pak Rukman, "saya mau belajar sejarah, Pak. Sejarah kisah cinta saya sama murid Bapak, Dian" Kini pandangan Wijar beralih pada bola mata sipit milik Dian, Gadis itu kembali tersenyum tipis.

"CIEEEEEEE!"

     Sorakan demi sorakan dilontarkan semua orang yang berada di kelas, khusus tertuju untuk Wijar dan juga Dian. Jika kalian bertanya-tanya bagaimana Pak Rukman sekarang? Dia cuma geleng-geleng sambil bilang, "eta budak..."

     Laluan angin sore di jalan kota Bandung menyapu wajahku dan Dhara secara lembut. Dari spion motor bisa aku lihat bagaimana indahnya rambut hitam legam milik Dhara tertiup oleh hembusan angin kala itu. Wajah cantiknya terpapar sinar senja yang agak redup akibat mendung.

"Neng, hujan" Setetes air hujan yang mulai deras itu membasahi baju putih abu-abu yang kami pakai.

     Senyuman simpul terlihat pada bibir Dhara. Gadis itu menopangkan wajahnya pada bahuku, tentu saja aku senang bukan main.

"Iya, nggak apa-apa, Mahen. Lagian kan hujan cuman air" Katanya dengan suara yang agak dikeraskan agar tak kalah dengan derasnya air hujan sore itu.

     Hari itu kami hujan-hujanan, aku sebut sebagai Hujan Romansa Pembawa Cinta. Derasnya air hujan ditambah dengan ricuhnya suara gemuruh air juga angin malah menambah rasa tenang pada hatiku.

"Kamu teh mau dengar sesuatu enggak?" Tanyaku yang dibarengi dengan senyuman.

"Mauuuu!" Balas Gadis itu dengan perasaan antusias, aku masih ingat dengan sangat bagaimana senyuman lebarnya terpampang jelas waktu itu.

"Aku sayang kamuuuuuu!" Teriakku, sengaja memang, nggak apa-apa yang penting aku senang karena bisa menyampaikan kalimat itu pada Dhara.

     Suara gelak tawa bahagia Dhara yang menurutku manis terdengar saat setelah aku meneriakan kalimat tadi. Dhara kalau sudah tertawa dan tersenyum manisnya melebihi gemblong, ssttt... Jangan kasih tau Dhara, nanti dia bisa marah kalau disamakan dengan gemblong!

"Mahen jangan kenceng kenceng ih" Rambutku diacak-acak oleh Dhara mungkin karena dia kesal, tapi dia juga senang, aku bisa lihat.

"Nggak apa-apa, biar seluruh rakyat Indonesia tau!"

"Okeh! Aku juga sayang kamuuuu!" Teriakan Dhara lebih keras daripada teriakanku sebelumnya, bahkan suaranya tak kalah dengan derasnya air hujan yang berjatuhan.

"Wah, Neng! Kayaknya seluruh Bandung langsung tahu!"

"Aku maunya satu Indonesia yang tau" Dari spion wajahnya berseri-seri dan tawa lembutnya terus terdengar.

     Kebahagiaan saat itu, di kala hujan di atas motor vespa saat senja begitu menyentuh kalbu. Perasaan senang dan antusias tak pernah luput dari hatiku juga Dhara, senyuman kami terus mengembang dan terpancar secara indah, seperti hari ini.  

  

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MAHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang