#17. Bunga layu

17 3 0
                                    

 "Nak Dhara, rek kamana kamu? Tong bolos deui!"

(Nak Dhara, mau kemana kamu? Jangan bolos lagi!)

     Bu Patmi, guru agamaku. Dia berteriak dengan kesal dari ruang aula sekolah yang dipakai untuk Keputrian. Guru tua itu berlari dengan langkah kecil mengejar aku yang tentunya berlari dengan lebih cepat, hingga aku menyadari kalau ia sudah tidak mengejar lagi.

     Jalanku laju ditengah koridor sekolah yang sepi nan sunyi, yang terdengar hanya suara langkah kaki dari sepatuku. Tali sepatuku lepas dan aku malas mengikatnya seperti semula, jadi aku berjalan seraya menundukkan kepala agar langkahku tak tersandung.

     Brak! Suara itu terdengar dari tubuhku yang bertabrakan dengan tubuh seseorang karena aku tak memperhatikan arah pandang depan. Badanku yang tak mempersiapkan kekuatan untuk kejadian ini langsung ambruk ditempat. Ya, aku terduduk jatuh di lantai, "aduh!" Ringis ku.

"Neng? Teu nanaon kamu teh?" Pandangan dan sorot mataku langsung tertuju padanya, dia yang menabrak ku dan membantuku untuk berdiri, Mahen.

(Neng? Nggak apa apa kamu?)

     Alisku menyeringit memandang wajahnya, "eh Mahen. Nggak sholat Jumat kamu?" Lemparan pertanyaan itu langsung aku berikan padanya. Anehnya, Mahen hanya diam.

"Hen!" Suara teriakan Jawara dari arah belakang Mahen langsung membuyarkan diamnya anak laki-laki itu, dia menengok. Jawara berlari lalu menepuk bahu Mahen dengan nafas yang terengah-engah.

"Alah sia! Aing cari-cari ternyata didieu maneh!" Seru Jawara yang kesal, "kunaon?" Tanya Mahen sambil berbalik badan ke arah Jawara.

(Ah elo! Gue cari-cari ternyata di sini lo!) / (kenapa?)

"Eta tah, maneh disuruh mimpin ibadah Rohkris jeung Pak Dadang" Perkataan Jawara membuat jantungku berdegup lebih cepat. Apa aku nggak salah dengar? Rohkris? Mahen? Semuanya belum bisa masuk di akal ku!

(Itu tuh, lo disuruh mimpin ibadah Rohkris sama Pak Dadang)

     Bahu Mahen kembali ditepuk oleh Jawara, "hayu atuh, Hen!" Kedua mata Mahen tak fokus pada Jawara melainkan terfokus padaku. Mahen memandangi aku dengan tatapan tak enak hati, sepertinya aku tau mengapa.

(Ayo dong, Hen!)

     Tangan Mahen segera ditarik Jawara untuk pergi dari tempat ini, tatapan Mahen tak pernah lepas dari sorot mataku walau ia sudah ditarik pergi dengan cepat dan jauh oleh Jawara. Aku masih butuh kejelasan Mahen soal ini.

     Langkah kakiku terhenti saat aku melihat Mahen sudah berdiri di depan pintu kelasku ketika bel pulang sekolah telah berbunyi 10 menit yang lalu. Tatapannya gelisah, ia seraya memainkan jemarinya bagaikan orang panik.

"Tadi kenapa kamu nggak sholat Jumat? Jelasin sama aku kenapa Jawara ngomongin Rohkris ke kamu?" Nada bicaraku gemetar akan firasat yang tidak mengenakan soal Mahen.

"Dhara..." Tak kalah dengan nada bicaraku, suara Mahen lebih gemetar dibanding aku. Tangannya menggenggam tanganku namun ku tepis, "jelasin dulu!" Ujarku marah, hampir ingin menangis.

"Aku teh salah, Neng... Hampura..." Tetesan air mata meluncur dari kedua mata Mahen yang kemudian membasahi pipinya, "... Aku salah udah sembunyiin hal kaya gini dari kamu... Aku salah..." Helaan napas keputusasaan, air mata yang berderai membanjiri pipinya, dan perasaan bersalah dari nada bicaranya bisa aku rasakan dengan jelas.

     "Jelasin..." Suasana kelas juga sepanjang koridor yang sudah sepi membuat isak tangisku terdengar jelas.

"Aku non muslim, Dhara..."

     Hatiku bagaikan ditusuk beribu duri tajam akan pernyataan Mahen. Pikiranku sudah tertutup hingga menjadi orang bodoh yang nggak menyadari akan kebutaan diri, "kenapa, Mahen? Kenapa?!" Derai air mataku tak mau berhenti mengalir begitupun derai Mahen.

     Seluruh emosi ku tahan dengan kepalan tangan, tubuhku gemetar tak karuan. Lelaki yang selama ini kukira tak akan pernah membuat hatiku hancur, dia adalah Mahen... Anak laki-laki yang selalu menyembunyikan salibnya dari hadapanku dan juga keluargaku.

"Aku teh cuma nggak mau kalau kamu pergi ninggalin aku, Neng..."

"Nggak begitu caranya! Kamu jahat, Mahen... Kamu jahat..."

     Memang ku akui, di sini aku juga salah karena tidak pernah memperhatikan bagaimana asal-usul seorang Mahen, dan aku juga terlalu cepat menaruh rasa pada orang yang salah, dan yang lebih penting... Aku sangat mudah percaya padanya.

     Hatiku hancur, sebagaimana cermin yang dihantam oleh batu. Di sini aku sungguh kecewa dengan ketidakjujuran Mahen yang membuat kami retak.

"Kalau aku tau dari awal aku nggak bakal naruh rasa sedalam ini buat orang kaya kamu, Hen! Aku benci sama kamu!" Teriakku seraya menangis dengan jari telunjuk yang terus menunjuk wajahnya.

"Aku minta maaf, Neng...Tolong jangan menjauh..." Mohon anak itu dengan lirih, ia terus berusaha memegang tanganku yang ujung-ujungnya selalu aku tepis.

     Aku pergi dari hadapan Mahen dengan larian kecil, entah anak itu mengikuti dari belakang atau tidak aku sama sekali tak peduli. Rasanya hatiku sudah penuh dengan rasa muak dan juga kecewa seperti bunga layu yang tak pernah disiram oleh air.

     Demi Allah di sini aku sama sekali nggak mempersalahkan apapun agama yang Mahen anut, aku hanya kecewa karena ia tak mau jujur sedari awal dan menutupi semua ini dariku. Semua harapan yang sudah kurangkai dalam angan seketika musnah.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MAHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang