#10. Koleksi Kesedihan Mahen 1

30 5 0
                                        

"Cadas kenapa?" 

     Mahen yang sedari tadi memperhatikan Cadas menyadari kalau ada yang aneh pada anak itu. Muka adik nya itu terlihat pucat, tubuhnya lemas. Biasanya Cadas itu aktif tapi sekarang tidak. Anak itu hanya bisa terbaring di sofa ruang tamu sejak kejadian tadi selesai.

"a'... Dari kemarin kita kan belum makan"

     Yang bisa Mahen lakukan hanya tersenyum pilu, lelaki itu merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi. Mahen mengusap kepala Cadas dengan lembut, "Aa keluar dulu nya, aa janji nanti pulang aa bawain makanan kesukaan Cadas, oke?"

     Mahen mengusap kepala Cadas sembari mencium kening adiknya, hal paling berharga dalam hidupnya. Entah seberapa besar rasa sayang Mahen untuk Cadas. Melebihi dirinya sendiri.

     Anak lelaki itu bergegas mengambil tas gitar setelahnya pergi meninggalkan rumah dengan perasaan yang sendu, ia berharap lelaki tua tadi tidak kembali.

Seandainya saja

Dunia berubah

Ku ingin kembali

Ke masa itu~

Agar kenanganku

Tak perlahan menghilang

Ditelan kerasnya kota....

     
     Suara lantunan musik dan lagu itu terdengar samar-samar di telingaku. Suara khas yang indah dan sangat sopan ketika memasuki gendang telinga. Ku ikuti suara itu, dari mana lagu dan musik itu berasal ditengah keramaian Braga sore ini.

     Agar kenanganku

Tak perlahan menghilang

Ditelan kerasnya

Kota....

     Langkah kakiku terhenti saat aku berada dekat dengan suara itu. Banyak orang mengerumuni tempat ini. Suara bisikan rasa iba dan kamera ponsel senantiasa memenuhi indra pendengaran dan penglihatan ku. Rasa penasaran ini menjadi lebih menggebu karena sedari tadi aku rasa aku mengenali suara ini.

     Berdesakkan dengan orang banyak yang kulakukan sekarang, memaksakan untuk bisa ke depan melihat Sang penyanyi.

     Bola mataku membeku di satu arah, hanya melihat kepada anak lelaki itu, yang tengah tersenyum atas pemberian uang para penonton yang perlahan meninggalkan tempat ini. Acara musik sudah selesai.

     Aku menghampirinya dengan tergesa. Mataku dan matanya bertemu, rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat wajah lelaki ini. Wajah yang sekarang dipenuhi oleh luka dan lebam. Anak itu tersenyum tetapi tidak dengan aku. Air mataku sudah membendung sedari aku melihat wajah dan senyum pilunya.

"Mahen... Kamu kenapa?" Suaraku bergetar lirih saat ku tanyakan tentang kondisinya saat ini.

     Mahen hanya tersenyum dan menggeleng pelan, "aku teh nggak bisa cerita sekarang, Neng. Kamu jangan nangis atuh. Aku harus pulang dulu ya sekarang" Ucapnya sambil menatap dalam mataku.

MAHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang