#14. Rahasia Samudra

16 4 0
                                    

     Kehidupan makin kejam dalam benakku, menjadi kenyataan pahit yang ternyata benar adanya, ya.
Tak adil, kejam, bangsat, bajingan, itulah yang namanya kehidupan. Jangan munafik dengan mengatakan nggak kok.

"Coba lihat nilai ulangan kamu?"

     Baru saja aku pulang sekolah dan membuka pintu, Bunda langsung meminta dan menanyai perihal nilai ulangan ku. Aku muak, jujur.

     Jari jemari tangan ini mengambil tas yang berada di belakang pundak, merogoh secarik kertas ulangan dengan nilai merah di dalamnya.

     Tatapan mata Bunda kini berubah marah. Bunda mengambil kertas ulangan itu dengan penuh emosi dari genggamanku lalu merobek-robek secarik kertas itu di hadapanku.

"Anak bodoh!" Teriaknya, benar-benar di hadapan wajahku. Rasanya hatiku seperti ditusuk, sakit sekali.

     Salah satu tangan Bunda mencengkram erat lengan bagian atasku, aku tau dia marah. "Malu-maluin! Dasar anak biadap! Sedari dulu kamu memang nggak bisa kamu banggain Bunda, Samudra!"

"Liat teman kamu nilainya selalu bagus dan nggak pernah dapat jelek seperti kamu! Makanya kamu tuh harus nurut sa—"

"Aku nurut." Iya, aku potong omongan Bunda seperti tidak punya adab. Bunda tampar pipiku sampai merah, suara tamparan nya nyaring, iya sakit. Nggak apa apa kan sudah biasa, mungkin Bunda kesal tapi aku juga kesal karena selalu dibandingkan dengan teman dekatku.

    Kedua mata sayu Bunda memandang wajahku dengan tatapan kecewa. Aku tau Bunda pasti capek, capek dalam segala hal, tapi di sini bukan cuma Bunda aja yang capek, ada manusia lain juga di sini.

     Suaraku gemetar, aku sudah tak tahan ingin menangis sejadi-jadinya di depan Bunda. Ingin sekali ku keluarkan semua keluh kesah dan rasa sakit hati yang selama ini aku pendam karena Bunda. Dari diriku yang ini masih menyimpan sisi kekanak-kanakan yang ingin merasakan pelukan dan kasih sayang yang tak pernah aku dapatkan sejak dulu dari keduanya. Bunda, aku rapuh...

"Aku nurut semua kata Bunda. Les matematika? Iya. Les Bahasa Inggeris? Iya. Les semua mata pelajaran? Iya Bunda. Di saat Bunda suruh aku masuk SMA padahal itu bukan bidang ku, iya Bunda aku nurut. Bahkan ketika Bunda larang aku buat ke Psikolog dengan alasan nggak ada orang gila di rumah ini? Iya Bunda aku juga nurut dan aku terima pendapat kasar Bunda. Apa aku masih kurang di mata Bunda?"

     Tanpa menunggu jawaban dari Bunda aku langsung keluar dari rumah. Boleh tidak jika aku bilang kalau aku muak melihat wajahnya? Setiap saat yang Bunda pedulikan hanya nilai, nilai, dan nilai bahkan tidak pernah ada aku di daftar list tersebut. Sikapnya yang keras itu membuat aku menjadi pribadi yang egois, keras kepala, dan haus akan validasi, aku akui semua itu.

"Eh Samudra, tumben maneh di dieu, keur naon?"

(Eh Samudra, tumben lo di sini, lagi ngapain?)

     Kepalaku terangkat, melihat Mahen yang tengah menyapa dan bertanya di hadapanku. Aku rasa dia baru kembali dari warung, terlihat ada tiga butir telur di plastik bening yang Mahen tenteng.

"Lagi santai aja, maneh abis dari warung?"

"He'eh tadi teh abis dari warung terus mampir ke rumahnya Neng Dhara"

     Suara tegukan ludah terdengar dari tenggorokanku diikuti dengan deheman pelan, "Maneh pacaran sama Dhara?"

"Belum atuh lagi proses, Mud" Kedua sudut bibir Mahen terangkat menghasilkan senyuman lebar yang berhasil membuat aku iri.

     Sekitar beberapa saat aku terdiam dan setelahnya aku bilang, "Maneh nggak bisa sama Dhara, Hen"

(Lo nggak bisa sama Dhara, Hen)

     Raut wajah Mahen berubah bingung dengan cara bicara juga nada bicaraku yang kurang enak didengar, "Maksud maneh kumaha, Mud? Nggak ngerti urang teh"

(Maksud lo gimana, Mud? Nggak ngerti gue)

"Nggak akan maneh nggak tau alasannya" Berdiri aku dihadapannya sambil menatap kedua mata bulat milik Mahen. Mahen tersentak saat nada bicaraku naik beberapa oktav.

"Dua alasan dan yang pertama pasti maneh tau, Hen" Dia terdiam beberapa saat kemudian mengangguk, "yang kedua naon, Mud?" Tanya Mahen penasaran.

"Aing suka Dhara, Hen" Satu kalimat keluar dari mulutku dengan lantang. Bisa aku lihat dan aku rasakan jika Mahen tidak suka dengan pernyataan ini. Aku juga tidak suka jika Mahen bilang kalau dia suka Dhara.

"Mud...?" Suara Mahen gemetar lirih dan tatapan matanya dalam tak percaya.

"Aing duluan, maneh nggak bisa ngerebut. Aing duluan yang suka sama Dhara, Hen! Maneh teu bisa pacaran sama Dhara apalagi menikah, sadar!" Ketegasan dalam suaraku seharusnya sudah bisa membuat Mahen sadar.

"Maneh teh nggak bisa begitu, Samudra..."

"Bisa!" Hentak ku dengan nada yang cukup tinggi. Perasaanku nggak bisa bohong kalau aku benar-benar mau Dhara.

"Bukan cuma sia nu hayang bahagia, Mahen! Aing juga. Udah cukup sia ambil semua perhatian Bunda. Asal sia tau, Hen! Aing selalu dibanding-bandingin sama sia, Hen. Semua perhatian Bunda cuma buat sia, hati aing sakit Hen... Jangan pernah cari perhatian sama Bunda lagi. Nggak tau diri sia Mahen. Mending cari orang tua miskin sia itu, Hen!"

     Kepala Mahen tertunduk dan dia hanya diam, aku tau betul kalau Mahen kecewa tapi aku lebih kecewa dan sakit hati padanya. Mahen nggak akan pernah tau rasanya jadi aku. Aku hanya mengungkapkan kekesalan ku selama ini tentang Mahen. Bunda cuma peduli dengan Mahen dan aku nggak, dia perusak hubunganku dengan Bunda, seharusnya dia nggak hadir di hidup aku dan hal ini pasti nggak akan pernah terjadi.

"Hampura..." Hanya satu kata yang Mahen ucapkan, suaranya lirih dan hembusan napasnya berat.

(Maaf...)

"Apa sia masih mau ambil Dhara?Jangan ambil Dhara. Biarin aing bahagia, Hen. Tentang Bunda udah cukup sakit..."

    

    

MAHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang