Seminggu telah berlalu, di sekolahnya, anak itu tengah berada di lapangan olahraga. Alva tidak ikut bermain, hanya cosplay menjadi wasit. Ia masih ingat larangan yang di berikan sang bunda, dan di wasiatkan ke Omanya.
"3.0" Ujar Alva
Mereka semua tengah berlatih, walaupun tidak ada perlombaan yang akan mereka datangi, tapi untuk mengasah skill kenapa tidak? Banyak berlatih akan menambah kemampuan dari setiap pemain, entah itu lambat atau cepat.
Masih dalam ronde pertama, pihak kedua selalu kalah dari pihak pertama. Di ronde selanjutnya Alva berniat menukar beberapa dari mereka, itupun kalau mereka masih mau berlatih.
"So great, bro!" Ujar Alva menepuk tangan satu per satu teman-temannya
"Sekali lagi, tapi kali ini gua acak, mau gak? Tim sini sorry, kalah terus. Kayaknya skill dari tim sini agak kurang, gimana kalo di acak? Biar yang menguasai teknik bisa ajarin dikit-dikit selama langsung terjun ke lapangan?" Tanya Alva
"Lo gak capek?" Tanya Rendi
"Kalo Lo capek istirahat, Va." Ujar temannya yang lain
"Kan kalian yang main ngapa gue yang capek?" Ujar Alva heran
"Ayo aja sih, gua mah."
Mereka memulai latihan lagi, kali ini per tim di acak oleh Alva, anak itu pandai mengatur strategi, sangat disayangkan tidak bisa ikut terjun langsung ke lapangan ikut bermain.
"Terserah siapa yang main duluan, intinya kipernya jangan jaga gawang aja, ikut maju megang bola dan ngehadang bola tim lawan. Jadi peluang cetak gol lebih besar, lebih gampang buat menang." Ujar Alva
Sekali lagi, bahkan berkali-kali Alva mengingatkan mereka tentang ini, tapi entah lupa atau apa omongannya seperti tidak terpakai, padahal ini futsal, yang mana jumlah per timnya lebih sedikit, hanya separuh dari jumlah pemain sepak bola.
Latihan yang men-capekkan badan itu di ulang lagi, di ulang dari awal namun melanjutkan ronde yang sebelumnya.
Di tengah-tengah Alva mengatur orang-orang yang berlarian disana, bola itu secara tak sengaja jatuh mengenainya, tepat menghantam dadanya pula.
Anak itu meringkuk mencengkram dadanya sendiri, merasakan gejolak sakit yang merenggut tubuhnya. Tubuhnya seperti mati rasa, hanya rasa sakit itu yang bisa ia rasakan, dan suara-suara orang yang berlarian ke arahnya dan memanggil namanya.
"Va? Are you okay?" Tanya Rendi khawatir
Nyerngitan di dahinya tercetak jelas, bibir ranum itu masih sedikit bergetar tidak cukup kuat membalas pertanyaan yang di lontarkan.
"Goblok! Lo ngapain lempar bola itu ke Alva?!" Ujar Rendi dengan amarahnya yang membara, memukul orang yang melempar bola ke arah Alva
Anak itu tak melawan, salah satu dari mereka menghentikan keduanya, "Udah, Ren. Temen Lo kesakitan!"
Rendi berjalan cepat ke arah Alva, memangku kepala anak itu, matanya memejam dengan nyerngitan yang sempurna, bibirnya bergetar merintih dalam diam.
"Alva?" Panggilnya
"Setan! Lo apain temen gue?!" Teriak Rendi melihat sedikit darah yang mengalir di sudut bibir Alva
"Ren, bawa ke rumah sakit, Ren. Emosinya nanti aja!"
Rendi segera menggendong anak itu, "Ambil mobil gue di parkiran, hari ini gua bawa mobil, kuncinya di tas, cepet!" Ujar Rendi
Rendi menunggu di belakang sekolah, tidak ingin membuat sekolah heboh. "Va? Melek, Va, please!" Ujar Rendi
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrenders
Teen FictionDeskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.