"Tuan muda, maaf menganggu waktunya. Tapi, tuan harus segera pergi ke rumah sakit abditory. Kondisi tuan besar memburuk." Seuntai kalimat singkat dari Erre langsung menghentikan kegiatan minum teh siang ini di kediaman keluarga Ferelith.
Kael menoleh sejenak, "Baiklah, siapkan mobilnya. Aku akan berpamitan terlebih dahulu."
"Astaga! Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk." Tutur nyonya Ferelith dengan nada khawatir.
Kael sebatas membalas dengan senyuman, "Maaf nyonya, sepertinya siang ini kita tidak bisa melanjutkan acara minum teh karena aku harus bergegas pergi."
"Iya, pergilah. Jangan khawatirkan perkara minum teh. Kita bisa melakukannya lain kali." Balas sang kepala keluarga dengan nada tak kalah khawatir.
Kael mulai beranjak dari tempat duduknya, "Kalau begitu, saya mohon undur diri."
Keluarga Ferelith langsung memberikan izin, tentu saja masalah ayahnya lebih penting daripada acara minum teh siang ini. Kael berjalan dengan tenang seperti biasa, meskipun dalam batinnya kini sedang berjuang menghalau pikiran buruk yang mungkin saja terjadi di situasi ini.
"Tuan, sebelah sini." Erre mengangkat sebelah tangannya untuk memberi tahu Kael yang mulai tak fokus berjalan.
Setelah Kael masuk ke dalam mobil, mereka segera berangkat menuju rumah sakit yang telah disebutkan Erre. Perjalanannya hanya sekitar setengah jam, harusnya akan sampai lebih cepat jika tidak macet.
"Tenang tuan muda, nyonya besar berserta nyonya sudah berada di sana."
"Ya, cepat antarkan aku kesana."
Erre hanya mengangguk patuh, dirinya kembali fokus menyetir. Kael masih mempertahankan raut wajahnya yang tenang. Meskipun sesekali jemarinya mengetuk-ngetuk pahanya.
Setibanya di rumah sakit, Kael langsung dipersilakan Erre untuk segera keluar dan bergegas menuju ruang IGD. Nyonya Ragnheidr langsung memeluk anak semata wayangnya dengan mata sembab. Isak tangis dan pelukan erat terus membuatnya makin bingung. Degup jantungnya makin berpacu cepat, hatinya berusaha menyangkal pikiran buruk yang bersarang.
"Hiks.... Suamiku telah wafat, hiks... Ayahmu sudah tiada ..."
Deg.
Kael berusaha tak menunjukan ekspresi wajah yang berlebihan, ia hanya membalas pelukan sang ibu dengan tak kalah erat untuk menyalurkan emosinya yang tak bisa ditunjukkan secara langsung. Kael menatap pintu ruang IGD yang masih tertutup, suara isak tangis tersedu-sedu terdengar dari dalam ruang. Sepertinya, neneknya yang tengah berduka karena kehilangan anak tersayangnya.
Dunianya seakan langsung suram tatkala mendengar berita duka yang datang tiba-tiba. Kael tak boleh menangis, karena tangisnya tak akan berarti. Ia harus mengontrol emosinya agar tak terlalu jelas. Kael harus tenang, seperti sebelumnya. Mungkin telinganya serta wajahnya tengah memerah, meskipun wajahnya tetap baik-baik saja.
Banyak sekali kejutan yang datang tak terduga. Kael bahkan bisa menghitung berapa kali ia hampir hilang kendali. "Tidak apa-apa ibu, aku akan baik-baik saja." Kael akhirnya bersuara, setelah beberapa menit terdiam.
Prioritasnya untuk menenangkan keluarganya. Kael harus bisa membuat ibu serta neneknya tenang, agar pemakaman sang ayah bisa berjalan lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
volitient [ jaerose ]
Romancea.bout Kael must take responsibility for the incident that happened to him and made him remember new facts from the past