Ruelle termenung sendirian di dalam kamar. Ia memeluk lututnya sambil memandang suasana kamarnya yang terasa sunyi. Kebahagiaannya seakan direnggut paksa di saat yang bersamaan. Belum lagi, sampai sekarang Kael belum kembali hingga dirinya tidak bisa meminta penjelasan terkait maksud dari semua ini. Tak ada seorangpun yang menemaninya, ibu mertuanya memiliki agenda lain yang harus di penuhi.
Pikirannya berkabut, keinginannya untuk berbahagia bersama dengan sang suami kini sirna dengan kabar yang tiba-tiba datang tanpa di duga. Seorang anak, Ruelle tidak menyadari kapan itu terjadi. Hubungannya selama ini baik-baik saja. Kael juga tampak tidak menyembunyikan apapun dari belakangnya. Tapi pemberitaan yang ada berbanding terbalik dengan sikapnya.
"Anak laki-laki." Gumamnya pelan. Pelukannya pada diri sendiri menguat seiring emosinya yang makin menjadi-jadi. Air matanya sudah habis tak bersisa.
Bahkan jika Ruelle bersujud di hadapan Kael sekalipun, pasti pria itu tidak peduli. Sekarang ia mungkin sudah tak mampu mengangkat pandangan ke atas seperti dulu. Pandangan para bangsawan kepadanya akan membuat harga dirinya jatuh.
Pastilah cemooh dan hinaan akan meluncur bebas. Anak di luar nikah, yang Kael akui sebagai anaknya sekarang tinggal satu atap dengannya. Rasa kesal bercampur kecewa masih menyelimuti hatinya. Ruelle tak Sudi jika harus bertemu dengan bayi itu meskipun sepintas.
"Pelayan dan maid di mansion sudah melihat sendiri bayi itu. Haruskah aku berkunjung untuk melihatnya?" Ruelle menggumam pelan setelah sekian lama terdiam.
Duchess akhirnya memutuskan untuk melihat bayi yang dimaksud anak Kael. Lagipula, ia sudah lelah berdebat dengan dirinya sendiri. Setidaknya mungkin ia akan memutuskan sesuatu setelah melihatnya langsung.
Tubuhnya menegang di depan kamar, bayinya lebih besar dari yang ia kira. Mungkin sudah beberapa bulan pasca di lahirkan. Tapi begitu ia menyoroti mata bayi itu, Ruelle bahkan tidak bisa menyangkal jika itu bukan anak Kael.
Ia menelan semua rasa kecewa bercampur air mata yang tersisa, menguburnya sedalam-dalamnya agar tak meninggalkan sisa. Wanita itu masih berusaha tabah, meskipun suaminya sendiri mengakui perbuatannya tanpa memberi tahukan pada ia dahulu. Mungkin sedikit banyak adalah salahnya yang kurang peduli, tapi semua telah terjadi.
Berita sudah menyebar hingga ke negara lain. Andai kata ia harus menundukkan kepala tiap perjamuan makan atau merendahkan diri untuk mempertahankan pernikahan, ia siap berkorban. "Bolehkah aku melihatnya dari dekat?" Tuturnya sebagai kalimat pembuka. Ia bicara pada pengasuh bayi yang hanya kelihatan punggungnya karena posisinya berkebalikan.
Wanita yang tengah menggendong bayi itu berbalik badan, menghadap ke arah Ruelle. Ruelle menatapnya dengan bingung, wanita bersurai blonde yang digulung dengan rapi itu menundukkan kepala.
"Sila...kan nyonya." Jawabnya dengan nada terbata. Tangannya sedikit gemetar begitu Ruelle berjalan mendekat ke arah dia dan anaknya.
Bayi mungil itu berusaha tertidur dalam gendongannya, pipinya bertumpu pada bahu sang ibu berusaha mencari kenyamanan. Lora juga tidak berani menatap Ruelle yang mendekati bayinya. Rasa ketakutan mulai membuatnya tidak nyaman. Seharusnya ia tidak berada di sini.
"Siapa namanya?" Tanya wanita bangsawan itu setelah melihat bayinya secara dekat.
"Tu...tuan muda...Yevhen."
Ruelle mendekatkan tangannya, hendak menyentuh punggung Yevhen perlahan. Tapi bayi itu menggeliat tak nyaman dan langsung menangis.
"Hic ..... hic ...." Yevhen berusaha menjauhkan tubuhnya dari Ruelle. Ia menggeliat memeluk sang ibu lebih erat, agar ibunya tau jika dirinya ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
volitient [ jaerose ]
Romansaa.bout Kael must take responsibility for the incident that happened to him and made him remember new facts from the past