Denting jarum jam seakan kian memekakkan telinga, bagai irama nada yang membuat jantung berdebar tak karuan. Detik demi detik terlewati tanpa ada kepastian yang telah dinantikan. Ekor matanya sedari tadi memandang pintu kokoh di sampingnya dengan pandangan cemas bukan main. Kedua tangannya menangkup satu sama lain mengharap ketenangan di saat keadaan tak bersahabat.
Kaki sebelah kanannya tak henti mengetuk lantai ruang tunggu yang tenang untuk menghilangkan sedikit perasaan. Namun apa daya, rasa campur aduk tetap membuatnya tak kuasa menghalau air mata yang mulai turun dari pelupuk matanya. Tangan yang semula menangkup, kini mengusap wajah yang kian basah meskipun sudah berkali-kali ia usap tanpa henti.
Keringat dingin bercampur rasa bersalah, kini makin menggerogoti perasaannya. Pria itu tidak bisa tenang sedikitpun, meskipun seseorang yang ada di dalam bukan bagian dari keluarganya. Tak ada ikatan darah antara mereka, tapi justru karena itulah rasa bersalahnya makin meluber tanpa sadar. Semua angan dan harapan ia lantunkan dalam doa yang berkali-kali ia ucap dalam batin.
Tuhan, tolong selamatkan keduanya!
Sebuah untaian doa sederhana yang terucap dari seorang pendosa, berkali-kali ia coba mengelak untuk tak percaya Tuhan. Tapi kali ini, sepertinya mustahil baginya untuk mengelak sedemikian rupa. Kali ini, pria itu berharap akan datang suatu keajaiban.
Melihat seorang wanita jatuh terguling-guling di tengah jalan raya akibat ulahnya membuatnya makin merasakan beban berat yang mulai menghantui benaknya. Wanita itu, tak hanya bertaruh nyawa untuk dirinya sendiri. Melainkan juga, untuk anaknya. Iya, anak yang sedang dikandungnya.
Jika saja, dirinya tak memaksakan diri untuk segera pulang dan beristirahat mungkin kejadian ini bisa di hindari. Menguap berkali-kali saat mengemudi, hingga matanya yang tiba-tiba memburam beberapa saat. Hingga dirinya tak sadar jika seorang wanita tengah menyebrang jalan dengan beban di perutnya. Tabrakan itu tak dapat dihindarkan sebab dirinya terlambat menyadari seorang wanita yang jaraknya tinggal lima senti.
Darah mengalir dari paha hingga menyentuh aspal jalan raya. Berguling beberapa kali diiringi dengan lenguhan lirih dari sang pemilik tubuh. Kesadaran Kael seakan di tarik sepenuhnya, pikirannya langsung kacau mendapati apa yang tak sengaja diperbuatnya. Orang-orang di sekitar mulai berteriak dan panik, Yezekael dapat menyaksikan beberapa orang berkerumun di depan mobilnya seakan memintanya untuk tak mencoba kabur.
Kael mengusap wajahnya berkali-kali, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk segera keluar dan membantu wanita itu pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sebelumnya, ia telah berjanji pada para penolong untuk memberinya kesempatan bertanggung jawab atas sang korban yang kini berada dalam dekapan. Dengan tangan bergetar, Kael memasukkan wanita itu ke kursi belakang mobilnya.
Untungnya, berkendara secara ugal-ugalan merupakan keahliannya. Sehingga tak butuh waktu lama untuknya mencapai tujuan yang sedari tadi membuatnya tak tenang. Nyawanya seakan hilang separuh, tatkala dokter mengucap jika sang wanita butuh banyak donor darah. Banyak hal yang terjadi di luar rencana, hingga akhirnya dirinya memutuskan menghubungi Asher untuk membantunya mencari pendonor darah.
Meskipun hingga saat ini Asher belum terlihat sama sekali, tapi berkat bantuannya kini beberapa kantung darah mulai berdatangan dengan tergesa di ruang operasi. Kael merasa agak lega, karena artinya dirinya tak salah orang untuk meminta bantuan.
Jika ditilik lebih jauh, telah lima jam terlampaui semenjak orang itu masuk ke ruang operasi. Banyak perawat berlalu sana-sini membawa peralatan tambahan dan handscoon tambahan. Semuanya tampak panik, membuatnya makin mati kutu menunggu dengan waktu tak tentu. Kael tak mampu menatap layar ponselnya terlalu lama. Selain Asher, tak ada seorangpun yang tau jika dirinya telah menabrak orang.
Di luar sana, dunia masih berjalan seperti biasa. Tapi benar kata orang, rumah sakit membuatnya tersadar betapa ketakutannya jika ia kehilangan nyawa korban beserta janinnya. Dunianya tengah memburam, semua yang biasa ia lakukan untuk mengatasi rasa gelisah kini seakan tak menarik dan mampu membuat fokusnya beralih.
Tuk.
Sebuah tepukan pelan di bahu kirinya langsung mengalihkan pandangan Kael yang telah kabur tertutup air mata. Di lihatnya seorang yang sedari tadi membantunya dalam diam kini berdiri di sebelahnya dengan wajah khawatir. Asher tak mengucap satu katapun, mereka hanya saling berpandangan selama beberapa detik. Sebelum, Asher memutuskan untuk ikut duduk di sebelah Kael.
"A-aku .... takut." Gumaman pelan Kael, mengalihkan perhatian Asher.
Asher tak menjawab, dirinya malah mengusap pelan punggung Kael. "Iya tau...." Jawabnya dengan lirih.
Semua seakan mendadak, kepalanya penuh akan rasa bersalah dan penyesalan yang teramat dalam. Kael bahkan tak berniat menghubungi kedua orang tuanya untuk membebaskannya dari situasi tak mengenakan yang kini ia dirasakan.
Asher mengamati temannya yang begitu kacau dengan tatapan simpati. Tak sekalipun dirinya akan mencerca meskipun tindakan Kael sama sekali tak dibenarkan. Tapi kemauannya untuk bertanggung jawab patut untuk di apresiasi. Tak semua pelaku mampu melakukan hal sama, seperti yang di lakukan Kael.
Dalam situasi ini, Asher mengerti jika ia tak bisa terus menanyakan kronologi. Sebab bagaimanapun, Kael tengah panik akan keselamatan sang korban. Lagipula, memang sebaiknya ia memberikan waktu pada temannya untuk sedikit menenangkan diri sekaligus menanti apa yang akan di sampaikan dokter nanti.
Setidaknya, Asher akan tetap di samping Kael untuk menguatkan apapun yang nantinya terjadi. Jika takdir tak berpihak pada Kael, maka Asher siap untuk mendampinginya kapanpun.
Klekkk...
Pintu ruang operasi terbuka, menampilkan beberapa orang keluar dari sana dengan jubah operasi yang masih melekat. Beberapa ada yang sudah melepasnya, tapi beberapa lainnya masih mengenakannya karena terburu waktu. Pandangan Kael tertuju pada seseorang yang berjalan di barisan paling belakang, seorang dokter paruh baya yang menangani operasi wanita tadi.
Saking penasarannya dengan hasilnya, Kael sampai mengabaikan inkubator berisi bayi yang baru saja berlalu di depannya. Lain halnya dengan Asher, yang pandangannya malah terfokus pada bayi yang ada dalamnya. Tubuhnya yang masih merah dan tampak lebih kecil dari bayi yang pernah di lihatnya membuat Asher memilih mengikuti kemana bayi itu ditempatkan.
Wajah terlelap bayi itu, begitu damai. Saking damainya, Asher tampak tak asing dengan wajah bayi yang barusan dilahirkan. Kael langsung merasakan kelegaan yang begitu besar sesuai berbincang dengan dokter yang tadi menangani operasi. Wanita itu dan bayinya selamat. Kael refleks menangis terharu akan keajaiban yang masih terasa tak nyata.
Ia mengurus segera pemindahan pasien ke ruang inap VVIP agar wanita itu merasa nyaman. Bahkan Kael tak sadar jika Asher sedari tadi tak bersama dengannya. Ia begitu sibuk mengurus administrasi sementara untuk pasien karena wanita tadi tak membawa indentitas apapun untuk menghubungi keluarga.
"Ka...." Asher membuka ruang inap dengan perlahan, Kael langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung.
"Dia selamat...." Kael berucap dengan nada penuh kelegaan.
Asher lantas mengangguk pelan, "Ada sesuatu yang lebih penting sekarang."
Kael mengernyit tak paham, "Apa lagi? Aku telah menyelesaikan biaya administrasinya."
Asher tak menghiraukan jawaban Kael, "Bayinya, kau sudah lihat?"
"Belum. Ada sesuatu yang terjadi dengan bayinya?" Kael bertanya dengan harap-harap cemas.
Asher berjalan mendekat ke arah Kael. Tak lupa menutup pintu ruang inap, "Aku juga awalnya tak percaya, tapi bayinya terlalu mirip sama denganmu" Tuturnya lirih.
tbc
°• Vote and comment very much appreciated •°
KAMU SEDANG MEMBACA
volitient [ jaerose ]
Romancea.bout Kael must take responsibility for the incident that happened to him and made him remember new facts from the past