Kael mengusap wajahnya berkali-kali, rentetan peristiwa tak di duga datang bertubi-tubi membuatnya hilang kendali. Raut wajah yang biasanya tenang, kini nampak mulai lekang. Tergantikan akan raut serius dan penuh perhitungan.
Sesuai perbincangan dengan sang dokter yang tidak menyarankan adanya tes DNA dalam waktu dekat terhadap anak itu membuatnya kian was-was tanpa diminta. Meskipun benar, untuk menghindari adanya infeksi pada bayi yang baru lahir apalagi dalam kasus ini bayinya lahir dalam keadaan prematur. Juga, harus mempertimbangkan kesehatan bayi yang akan dilakukan tes DNA.
Kini, Kael tak bisa berbuat apapun selain menunggu hingga bayinya siap untuk melakukan tes DNA. Netranya menatap lurus, memperhatikan orang berlalu lalang di koridor rumah sakit. Ia mengambil ponselnya yang sedari tadi tak banyak digunakan, kali ini ia harus mengabari asisten pribadinya agar tak perlu menyusul kemari.
"Ka..." Panggilan Asher mengalihkan pandangannya.
"Kenapa?"
"Dia udah sadar."
Kalimat tersebut sukses membuat jantungnya berdetak lebih cepat hingga Kael tak mampu berucap kata. Dirinya langsung berdiri seakan tak percaya dengan apa yang didengar. Bahkan kini dirinya bingung, haruskah kesana untuk menjelaskan segalanya atau tetap di sini menenangkan diri dahulu. Asher yang paham akan sikap Kael langsung menyuruhnya untuk duduk kembali ke tempatnya semula.
"Kondisinya sangat buruk, wanita itu sepertinya menderita trauma." Asher menjelaskan dengan perlahan.
"Dia berteriak-teriak minta semua orang buat tidak mendekat, sekalipun dokter ka. Kami sempat kewalahan hingga akhirnya terpaksa memberikan obat."
"S-serius?"
Asher sebatas mengangguk, "Maaf, aku baru sempat mengabarkan. Dia mungkin akan lebih histeris jika bertemu denganmu."
Jawaban rasional Asher mungkin benar adanya. Namun, penjelasannya benar-benar menohok hati Kael.
"Jadi, langkahku setelah ini akan semakin berat ya. Aku bahkan belum bisa menentukan langkah selanjutnya karena kondisi wanita itu dan bayinya sama-sama tidak memungkinkan."
Asher mengusap pelan bahu Kael yang tegang. Dirinya sedikitnya paham, selama menemaninya di rumah sakit Asher membiarkan Kael bercerita tanpa harus dipaksa. Karena dengan begitu, mungkin hatinya akan lega. Asher mungkin tak bisa membantu banyak hal, kecuali membuat sebuah kebohongan pada orang tua Kael agar tak mencarinya untuk sementara waktu.
"Jujur aku tidak bisa memberikan solusi apapun. Di satu sisi, ini bukan hak untukku berbicara. Di sisi lain, sepertinya memang kamu harus bisa memutuskan langkah apa yang akan kamu ambil selanjutnya."
Asher paham, Kael tak bisa sembarangan memutuskan suatu perkara. Karena perintah orang tuanya harus diutamakan, apapun situasi dan kondisinya. Kael tak banyak bicara sesuai mengungkapkan isi kepalanya. Hanya duduk diam sambil menatap lurus di depan. Mungkin dirinya terlihat seperti biasa, tapi dalam pikiran serta hatinya sedang kacau.
"Aku.... bingung." Ungkapnya dengan nada lirih.
Hari kian malam, tapi rasa pening di kepalanya seakan tak bisa berhenti berunding diantara dua sisi. Jika Kael memutuskan memilih tunangannya, maka tentu saja tak adil bagi si wanita beserta bayinya karena tak akan mendapatkan hak dan pengakuan yang layak. Sementara, jika Kael memilih si wanita, bahkan belum apa-apa banyak yang harus dia benahi agar tidak tertolak. Lagipula, korban tak akan mau jika harus menikah dengan pelaku yang menidurinya hingga menyebabkan trauma.
KAMU SEDANG MEMBACA
volitient [ jaerose ]
Romancea.bout Kael must take responsibility for the incident that happened to him and made him remember new facts from the past