Duduk sendirian di kelas yang hening dan sepi, berdiam diri mengabaikan puluhan notifikasi yang membuat ponselku bergetar sedari tadi. Semua siswa di kelasku masih berada di labor, kemungkinan akan kembali sekitar sepuluh menit lagi.
Seusai Ogi meninggalkanku di bawah pohon itu, aku kembali menuju kelas. Mengabaikan pelajaran bu Sona yang sebenarnya sangat tidak boleh dilewati karena pastinya aku akan direcoki pada pertemuan selanjutnya.
Tapi, entah kenapa langkahku malah mengajakku untuk berdiam diri di kelas. Melamun dengan pikiran kosong dalam waktu yang lama.
"Siapa yang punya gratis ongkir?"
"Berisik anjir! Daritadi itu mulu yang ditanya."
"Iya 'kan gue mau beli skincare cuy, ayolah siapa yang punya? Pelit banget sumpah, gratis ongkir doang."
Satu per satu, anak-anak mulai memasuki kelas. Teriakan, makian bahkan tawa geli mulai mengisi ruangan kelas. Aku yang duduk sendirian, seketika tersadar kala seorang gadis dengan rambut yang diikat itu menepuk bahuku. "Kenapa gak masuk tadi? Tumben bolos," tanyanya.
"Itu... tadi ada urusan," jawabku yang diangguki olehnya.
Kemudian, gadis itu pergi menuju tempat duduknya. Dan aku mulai menyibukkan diri dengan ponselku yang tak hentinya berbunyi sedari tadi. Ada sepuluh pesan dari Valency dan ratusan dari grup yang entah membahas apa.
Valency seperti biasa hanya menceritakan tentang sekolah dan teman-temannya. Terkadang juga mengirimi foto random atau kadang juga wajahnya jika ia sedang kelelahan, kelaparan atau apapun itu. Padahal aku tidak pernah mengirimi foto apapun padanya.
Guru untuk pelajaran selanjutnya telah masuk, segera aku matikan ponsel dan fokus pada pelajaran. Namun, aku tidak menemukan keberadaan Ogi yang seharusnya sudah sibuk menyiapkan kelas. Sepertinya cowok itu bolos, untung saja aku tidak mengikuti kemauannya. Bisa-bisa aku bolos dua pelajaran dibuat cowok itu.
"Kita sekarang UH!"
"HAH? YANG BENER AJA DONG BUK!" teriakan satu kelas membuatku merinding.
"Bener dong. Keluarkan kertas satu lembar, Ibu beri waktu lima belas menit." Keputusan mutlak.
Mampus aku. Duduk sendirian lalu ulangan harian? Bisa mati muda aku dibuat guru ini. Setidaknya harus ada Sera biar aku bisa membuat jawaban asal yang sama. Jika begini, aku benar-benar nervous setengah mati.
Sepuluh menit aku habiskan hanya dengan membolak-balik buku, tatapanku tidak bisa fokus pada tulisan yang ada di buku. Entah kenapa tulisan itu seperti tercampur-campur semua tidak jelas seperti masa depanku.
Aku tidak bernyawa rasanya jika sudah gugup seperti ini. Tidak tahu apa yang harus aku hafal dan baca, isi kepalaku hanya ingin pulang dan pulang.
Lima belas menit berlalu, ponsel dan semua buku yang berhubungan dengan Fisika dikumpulkan. Di saat soal dibagikan, Ogi datang dengan cengengesan menghadap guru dengan kacamata kebesaran itu.
Beruntungnya cowok itu tetap diperbolehkan untuk ulangan harian, aku meliriknya yang sudah sibuk membaca soal. Aku akui, meski terlihat nakal dan tidak jelas. Ogi itu ketua kelas sekaligus si paling pintar di kelas. Entah bagaimana bisa, kerjanya hanya sibuk dengan rekan band, lalu bermain game jika sedang istirahat, tidak pernah sekalipun kulihat dia ambis. Tapi, entah kenapa ia begitu... cerdas?
Kutepuk pipiku pelan, buat apa pula aku memikirkan dia? Kemudian, aku lanjut melihat soal yang sebenernya aku bahkan membacanya saja tidak paham. Jika aku masukan rumus yang aku ketahuipun hasilnya pasti tidak akan ada di options.
Jadi, sebenernya aku harus melakukan apa dengan soal ini? Kenapa rumus di Fisika ini banyak sekali?
Lecet sudah kepalaku karena kugaruk sedari tadi. Alhasil aku hanya mengisi asal dan mencotek teman di sebelah yang sama saja isi otaknya denganku. Kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WILL LOVE YOU BETTER [END]
Teen Fiction"'Cause I loved you first, but someone will love you better." Gia kalang kabut ketika perempuan yang menjadi kekasih roleplayer-nya menelepon, bisa terbongkar penyamarannya dan akan dibenci Valency selamanya. Dengan tak tahu malu, Gia menarik lengan...