31 - childhood friend

17 0 0
                                    

Dengan sebungkus mie ayam di tanganku, Ogi melajukan mobilnya meninggalkanku di depan halaman rumah. Lesu rasanya langkahku memasuki rumah, apalagi suasana di mobil yang sangat tidak nyaman. Sepertinya tiga cowok di belakangku tahu aku dan Ogi sedang perang dingin, membuat mereka di belakang jadi ikut bisu dan menerka-nerka.

"Lho? Udah pulang aja?" Bunda yang sedang menonton televisi menyapaku.

"Udah," balasku. Aku menaruh mie ayam titipan ayah di atas meja makan.

Bunda kembali fokus pada kegiatannya, aku memasuki kamar dengan helaan napas panjang. Menaruh tasku di gantungan yang tersedia dan merebahkan badanku pada kasur. Melupakan kakiku yang masih kotor.

Aku menyalakan ponsel, melihat delapan bubble chat dari Valency dengan tatapan kosong.

Hubunganku dengan Valency belum genap lima bulan, selama berpacaran dengannya pun aku tidak merasa keberatan, walau terkadang memang menyusahkanku jika ia tiba-tiba menelepon.

Tapi dibalik itu, ia lah yang membuat nada dering di ponselku berfungsi. Selama ini hanya notifikasi Shopee juga sms kuota yang memenuhi wallpaperku.

Ia juga sangat menghargai jika aku bercerita, tak menganggap sepele masalahku dan selalu menanggapinya dengan baik. Ia adalah yang selama ini aku butuhkan.

Dengan berat hati aku membuka chat itu, membalas cerita Valency hari ini yang selalu ada saja hal-hal seru di hidupnya.

Terkadang aku lupa membalas pesannya seharian atau aku yang tiba-tiba bosan dan memutuskan untuk menghapus profil karena iseng, maka beberapa temannya akan menyerangku karena membuat Valency menangis. Seolah gadis itu sangat takut kehilanganku.

Aku merasa menjadi cowok sangat menyenangkan, terutama jika pacar rp ku sedih ketika aku menghilang tiba-tiba. Aku menyadari jika menjadi cowok, aku adalah tipe cowok yang red flag.

"Maafin aku, Val."

✦ ⋆✧⋆ ✦

Keringat membanjiri dahi dan leherku, meski memakai topi upacara tetap saja tak membantu menghalangi wajahku dari sinar matahari.

Sera yang sebelumnya berbaris di sebelahku telah pamit dan dibimbing menuju UKS, meninggalkan aku yang kepanasan berbaris sendiri di belakang.

"Eh, itu yang di depan si Yumna?"

Aku mendengar celotehan anak laki-laki di sebelahku.

"Arah jam satu?"

"Iya." Aku yang kepo ikut melihat apa yang dibicarakan cowok yang berbeda kelas denganku itu.

"Iya, si Yumna. Kenapa? Demen lo?"

"Demen lah, cantik gitu. Rasanya gue pengen berdiri di depan dia buat ngelindungin dari cahaya matahari. Keren, gak?"

"Keren apaan, gak mempan matahari mah. Lo pendek gitu."

"Tai lo!"

Aku yang mendengar itu jadi sedikit nyes di jantung. Cantik, ya? Apalah dayaku, tangan saja tidak ada cewek-ceweknya sama sekali. Aku juga tidak putih, di mana putih adalah standar kecantikan di lingkunganku ini.

Kutundukkan kepala memainkan sepatuku, mendengar banyak lagi celotehan cowok-cowok di sebelahku yang mengabsen satu per satu perempuan tercantik di setiap kelasnya.

Bahkan amanat dari pembina upacara pun tenggelam oleh cerita mereka. Membuatku tak fokus melaksanakan upacara karena setiap mereka menyebutkan kelebihan perempuan yang diceritakannya, mulutku seakan berkata shibal saking muaknya.

I WILL LOVE YOU BETTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang