Ogi berjalan lebih dulu dengan langkah terburu-buru menuju mobilnya. Aku berusaha mensejajarkan langkah dengannya, yang entah kenapa semakin cepat saja meninggalkanku.
Aku berlari kecil menyusul cowok dengan tas kecil di sebelah pundaknya itu, ketika sampai di samping Ogi, aku menatapnya yang entah kenapa terlihat berbeda kali ini. Matanya tampak dingin dengan rahang mengeras, bahkan dia tidak menggubris keberadaanku di sebelahnya yang kesusahan menyamakan langkah.
Sesampainya di mobil, Ogi masuk lebih dulu. Aku mengambil napas lega begitu akhirnya membuka pintu mobil, duduk tenang merapikan tas dan rambutku yang entah seperti apa keadaannya.
Ketika sedang bercermin memperhatikan mataku yang masih merah, Ogi menarik pipiku hingga wajahku kini berhadapan dengannya. "Kenapa nangis?"
Pipiku yang diapit Ogi membuat bibirku mengerucut manyun, aku membalas pertanyaannya dengan gelengan. Aku malas membahas hal yang membuatku kesal tadi.
"Lo diapain sama dia?"
Kujauhkan tangan Ogi dari pipiku. "Gak ada, Ogi."
Ogi kesal, aku tahu itu dari mimik wajahnya. "Terus kenapa dia ngelus-ngelus pipi lo kayak gitu?"
"Ada kucing mati, aku nangis karena itu."
"Terus?"
"Terus?" tanyaku bingung.
"Terus apa lagi?"
"Ya... kucingnya mati padahal lagi hamil."
"Itu aja? Naufal gak ngomong aneh-aneh, 'kan?"
Aku tak lagi menghadap Ogi, tatapanku kini fokus ke depan mengabaikan kebingungannya. "Dia bilang cuma kucing mati doang buat apa ditangisin. Yang dia bilang bener kok, aku aja yang lebay."
"Kucingnya... gimana kucingnya?"
Aku menaikkan tas merah mudaku memeluknya. "Kata Naufal dia yang nguburin," balasku.
Ogi tidak lagi bersuara, aku meliriknya. "Kenapa?"
Mata bulat Ogi menatapku, ia tersenyum kecil. "Gak ada, ayo pulang."
"Kamu gak latihan? Bukannya masih ada satu jam lagi?" tanyaku melirik tas gitarnya yang ternyata tidak ada bersama cowok itu.
"Ada pengganggu, gak mood gue." Ogi mulai melajukan mobilnya.
"Terus yang lain? Mereka pulang juga?" tanyaku penasaran.
"Masih lanjut."
"TERUS KENAPA KAMU PULANG?" Tersadar aku kelewatan, segera aku membuang muka melihat ke kaca mobil.
"Ya gapapa, mereka juga fine aja. Gue kalau gak niat, gak bisa dipaksa, Gia."
Hendak berceloteh lagi, namun aku urung karena Valency tiba-tiba menelepon. Aku mengode Ogi, cowok itu nampaknya paham dan menyuruhku untuk mendekatkan ponselku pada telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WILL LOVE YOU BETTER [END]
Teen Fiction"'Cause I loved you first, but someone will love you better." Gia kalang kabut ketika perempuan yang menjadi kekasih roleplayer-nya menelepon, bisa terbongkar penyamarannya dan akan dibenci Valency selamanya. Dengan tak tahu malu, Gia menarik lengan...