Aku bosan. Celotehan Pak Hong tak henti-hentinya sedari tadi, menjelaskan cara melakukan dribble pada basket, melempar ke dalam net, lalu mengecoh lawan, ini dan itu entahlah telingaku berdengung mendengarnya.
Kami semua duduk di lapangan yang aku tidak tahu lagi seberapa panasnya sekarang ini, untung saja aku duduk di bawah rindangnya pohon, kalau tidak bisa mati bau ketiak aku dibuat karena panas ini.
Posisiku sekarang tidak dekat dan tidak terlalu jauh juga dengan anak-anak perempuan yang sibuk merapikan rambutnya yang lepek. Mereka semua mengeluh karena tak tahan lagi mendengar penjelasan bapak Hong.
Usai meneguk minuman miliknya, akhirnya bapak Hong meminta anak laki-laki untuk memulai olahraga terlebih dahulu, karena mereka lebih paham banyak tentang basket. Aku memilih menyandarkan punggung pada pohon, seraya memperhatikan lapangan yang mulai berisik ulah anak laki-laki yang saling memperebutkan bola.
Tak tinggal juga, anak perempuan sibuk menyemangati dan merekam untuk dijadikan story Instagram kelas.
Sementara mereka semua sibuk, aku juga sibuk sendiri dengan cermin kecil yang kubawa dari kelas. Merapikan helaian poniku yang lembek karena keringat, lalu jerawat yang entah kenapa akhir-akhir ini bermunculan di sekitar dahiku. Tanganku gatal sekali ingin memencetnya, namun dengan penuh kesungguhan hati aku menahannya.
"Awh!"
Aku gagal... menahannya.
Kemudian, aku melirik kembali dahiku. Ingin rasanya aku menangis, dahiku menjadi merah dan cairan yang keluar malah semakin banyak. Aku merengek sendiri mencubit jariku yang nakal karena sudah memencet dahiku sendiri.
"Jangan dicubit, bukan salah dia."
Ogi menjauhkan tangan kiriku dari jemari kananku, ia menyibak sedikit helaian poniku dan menemukan dahiku yang hancur sekali bentuknya. Segera aku menepis lengan cowok itu.
"Ga usah diliat!" ketusku.
Aku memeluk kedua kakiku dan mengalihkan pandangan pada bola basket yang dipantulkan bendahara kelas itu. Ogi masih jongkok di depanku yang sama sekali tak ingin melihatnya.
Decakan kecil keluar dari mulutku. "Pergi sana." Aku mendorong bahunya agar cowok itu enyah dari hadapanku.
Ogi diam saja, tak berkutik sedikitpun. Mataku meliriknya cepat, hanya sedetik, lalu sok mengerti kembali pada basket yang diambil alih bapak Hong itu.
Tiba-tiba Ogi mencapit kedua pipiku dengan satu tangannya, membuat padanganku yang fokus pada basket beralih ke arah matanya. "Guenya jangan diabain, Gia."
"Kan udah aku suruh pergi, gimana sih?" balasku.
Kuperhatikan mata Ogi seperti menjelajahi wajahku yang sedang kusam, kemerahan, jerawatan, keringatan ini dengan serius. Lantas, aku menjauhkan tangannya segera dari pipiku.
"Ngapain ngeli–"
"Lucu."
"Ogi!" Aku tak sadar berteriak padanya.
Cowok itu menaikkan alisnya membalas panggilanku. "Kenapa?"
"Sana pergi," pintaku mendorong-dorong bahunya.
"Males," balas Ogi seraya membalikkan badan menghadap lapangan, karena bapak Hong sudah memulai kembali dengan penjelasan panjangnya.
Bosan dan jenuh aku rasanya, Sera sekarang sedang istirahat di UKS karena tidak enak badan, alhasil aku tidak punya teman untuk bergosip, tidak punya tempat untuk mengeluarkan unek-unekku bahwa aku lelah memiliki guru seperti bapak Hong yang tidak peka, dan tidak punya tempat untuk dijadikan pegangan cerminku saat ini, seriusan aku tidak bebas rasanya bercermin jika aku yang memegang cerminnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
I WILL LOVE YOU BETTER [END]
Teen Fiction"'Cause I loved you first, but someone will love you better." Gia kalang kabut ketika perempuan yang menjadi kekasih roleplayer-nya menelepon, bisa terbongkar penyamarannya dan akan dibenci Valency selamanya. Dengan tak tahu malu, Gia menarik lengan...