20. Ketakutan Biu

406 79 3
                                    

Lima belas menit berlalu, keduanya tak berniat beranjak dari bibir pantai, Biu tak kunjung bersuara, diam menatap riuh ombak yang menepi menyapu pasir yang tak lagi hangat, Bible tak ingin mengganggunya, beberapa menit yang lalu Biu menangis di pelukannya, meski tak bersuara, tapi Bible bisa merasakan sakit yang turut menghantam dadanya, punggung Biu bergetar hebat, kini matanya juga terlihat sembap.

"Maafkan saya," itu adalah kalimat pertama Biu, keduanya duduk di atas pasir, berpegangan tangan, sepuluh menit lalu Bible membimbingnya untuk menyandarkan kepala di bahunya, terlarut dalam keheningan.

"Tak apa, Sayang. Ini bukan salahmu." Tangannya mengelus pundak Biu, Bible tidak tahu Biu meminta maaf untuk apa, sedari tadi dia mencoba mengerti tanpa kata-kata, ia tahu Biu bukanlah orang yang mudah terbuka, meski penasaran tapi Bible bisa menahannya demi menjaga perasaan Biu.

Biu mengangkat kepalanya, mengembuskan napas pelan, lalu menoleh pada Bible, wajahnya masih terlihat sendu, meski jauh lebih baik dari sebelumnya. "Bible, apa saya benar-benar bisa bersandar padamu?" Entahlah kenapa Biu tiba-tiba bertanya demikian, mungkin karena dia merasa ragu. 

Yang ditanya tak langsung menjawab, dia mengalihkan pandangan pada langit yang sudah berubah warna, gelap, Bible tidak yakin harus menjawab seperti apa, ini lebih sulit dari ujian praktiknya, Bible takut sekali kehilangan Biu kalau jawabannya sampai salah. 

Namun, dia memberanikan diri kembali menatap Biu. "Selama ini aku selalu berlari, Biu. Aku berlari untuk melihat senyum manismu, aku berlari menghampiri kamu yang sendirian, aku juga akan berlari saat mendengarmu terluka. Tak peduli di mana pun itu, apapun situasinya, aku akan selalu berlari padamu, untukmu." 

Biu terdiam, matanya terpaku menatap netra hitam legam milik Bible. Kalimat itu berhasil menghangatkannya, tanpa sadar Biu tersenyum meski tipis sekali. "Terima kasih." 

Bible tidak tahu apa artinya ucapan terima kasih dan senyum yang terkesan dipaksakan itu, apa jawabannya barusan salah? Biu tidak berkata apapun lagi selain mengajaknya pulang, hari sudah gelap, sudah pasti Sakya menunggunya di rumah, kencan mereka sudah selesai,

Kencan yang berakhir buruk.

Mobil yang dikendarai Bible berhenti tepat di sebuah rumah asri, Biu turun lebih dulu, selama berjalan menyusuri halaman, mata Bible tidak lepas dari pemandangan di hadapannya. Rumah ini jauh lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan luas pekarangannya, tapi hal itu malah membuat Bible merasakan kehangatan dan kedamaian yang tidak ditemukannya di tempat tinggalnya.

Setiap sisi rumah ditumbuhi berbagai bunga, ada satu pohon besar yang tumbuh tidak jauh dari halaman, pohon yang rindang.

Saat menaiki anak tangga teras rumah, Bible melepaskan sepatunya ketika melihat kekasihnya melakukan hal itu, ia berjalan ke arah pintu seraya menjinjing buah tangan untuk kedua orang tua Biu, sesaat kemudian pintu terbuka lebar, seorang wanita dengan banyak garis wajah mengembangkan senyumannya.

Wanita itu menyambut hangat kedatangan Bible, membukakan pintu lebar-lebar, dari caranya menyapa, Bible dapat menyimpulkan bahwa Biu mungkin sudah menceritakan dirinya lebih dulu pada keluarganya, ia nampak tidak terkejut, wanita itu malah lebih mempertanyakan raut wajah Biu yang terlihat kuyu.

"Biu hanya merasa lelah, Bu, tadi di jalan terjebak macet," ujarnya berbohong, ibunya hanya mengangguk seakan memahami penjelasan singkatnya. "Sakya sudah tidur, Bu?" tanyanya mengalihkan topik.

"Uncle Bibleeeee!!!" Teriakan itu sudah bisa menjawab pertanyaan Biu, mereka bertiga menoleh, Sakya berlari kecil dari dalam kamar, diikuti oleh pria tua di belakangnya, bibirnya tersenyum cerah. Entah kenapa mata Biu memanas, ia berusaha manahan bulir beningnya agar tidak jatuh, membayangkannya saja Biu tidak sanggup, apalagi jika dia sungguhan melepaskan Sakya.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang