19. Sepotong Hati yang Baru

387 76 16
                                    

Suara Kannika Malivalaya masih terdengar sama, lembut memang tapi rasanya menusuk di indera pendengaran Biu. Wanita yang kerap disapa May itu berdiri tidak jauh di hadapannya, menyapanya seakan tak terjadi apa-apa, wajahnya tak banyak berubah, makin cantik, membuatnya enggan melepaskan pandangan, mendadak rasa rindu menyerangnya, berani sekali dia tersenyum tanpa dosa seperti itu.

Seyuman yang sudah lama tidak dilihatnya.

Mungkin sudah enam tahun berlalu, waktu itu Biu menemani May untuk menyerahkan lukisan ke galeri, Biu sama sekali tidak tahu bahwa lukisannya adalah salah satu syarat yang harus May penuhi untuk bisa meninggalkan Biu, kabur mengejar mimpinya.

"May, Sayang ... tolong pikirkan lagi." Biu menahan lengan May yang menarik koper besar.

"Keputusanku sudah bulat, aku tidak bisa melewatkan apa yang sudah kuperjuangkan sedari kecil, aku harus pergi," ujarnya bahkan tanpa menoleh, biu harus bergeser agar bisa menatap wajah cantik itu.

"A-aku ingin menikahimu, May. Kau masih bisa menjadi seniman di sini, kita akan punya keluarga kecil sendiri, aku—" Biu tak dapat melanjutkan kalimatnya, air matanya lebih dulu jatuh.

"Aku mencintaimu, sungguh, aku akan berusaha sangat keras untuk mendukungmu, aku tidak akan membatasimu dengan segala tugas rumah tangga, kau bisa bebas berkarir, Sayang."

May memejamkan matanya lalu menghela napas panjang, tatapan mata Biu sedikit membuatnya goyah, tapi tak cukup untuk menghentikannya, May melepaskan genggaman Biu secara paksa. "Maafkan aku, Biu." May melangkah pergi setelah mengatakan itu. 

Biu tidak berniat mengejarnya, tapi dia berseru sebelum tubuh May benar-benar menghilang di balik pintu. "Setidaknya lakukan itu demi Sakya, anak kita, aku mohon, May ..."

Wanita itu memang berhenti sejenak, melirik sebentar, tapi tak sampai menoleh, meski Biu sudah memohon, menelan harga dirinya sendiri, tapi May tetap tegar meneruskan langkahnya, menutup pintu, pergi membawa separuh hati Biu.

"Biu?" Mata Biu mengerjap, bergerak menatap netra kecokelatan wanita itu, lamunannya terhenti. "Bisa kita bicara sebentar? hanya berdua."

Kepala Biu menunduk, menatap genggaman Bible pada tangannya yang semakin mengerat kuat. Biu melepaskan genggaman itu lalu mengangguk menatap May, dia juga ingin berbicara, setidaknya bertanya tentang kabar mantan kekasihnya itu.

"Sebentar," ujar Biu lirih pada Bible.

Bible menggeleng, kembali meraih tangan Biu. Entah kenapa ia merasa takut. Bukankah ia pernah mengatakan pada Biu, bahwa sebelum memikirkan mantan kekasihnya, Biu perlu memikirkan dirinya lebih dulu? Tapi, sepertinya Biu lupa soal itu. Genggaman tangannya kembali terlepas ketika Biu menariknya sedikit menggunakan tenaga.

Tanpa menatap Bible, Biu melangkah melewati May dan berjalan lebih dulu. May yang masih berdiri berhadapan dengan Bible tersenyum tipis sebelum berbalik untuk mengejar Biu. Ekspresi wanita itu terkesan seperti ejekan di mata Bible, rasanya sangat menyebalkan, sungguh, jika May bukan wanita, Bible pasti sudah menghajarnya minimal sekali.

Bible tidak bisa berbuat banyak, dia hanya bisa mengawasi dari jarak jauh, mencoba menebak apa yang sedang mereka bicarakan dengan dua buah kelapa muda yang tersaji di hadapan mereka. 

May tersenyum lebih dulu, sepertinya untuk mengurangi kecanggungan, May bercerita kenapa dia bisa ada di daerah ini, katanya May sedang menghibur diri, dia butuh ketenangan, Biu tak menanggapi, dia tidak mau tahu.

Wanita itu tersenyum lagi setelah menyeruput minumannya. "Rasanya lebih enak kelapa yang kau belikan dulu," tuturnya berbasa-basi, Biu tidak bereaksi meski dia sangat ingat detail ketika May mengidam kelapa muda di awal masa kehamilannya.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang