30. Angin Musim Dingin

351 80 10
                                    

Selama tiga puluh menit lamanya Biu menatap ponsel tanpa suara, dibacanya kembali kalimat-kalimat yang dikirimkan Bible padanya, andai Biu tidak mengabaikan pesan singkat itu lalu pergi ke Bandara, apakah mungkin saat ini Bible masih ada di sisinya? Atau setidaknya jika saja Biu membalas pesan Bible, mungkin lelaki itu akan mengurungkan niatnya untuk pergi atau mungkin ... sebaiknya dari awal mereka tak usah saling mengenal.

"Pak!" Pram memanggilnya, lelaki itu bahkan harus mengetuk meja di hadapan Biu, untuk menarik perhatiannya. Biu mengerjap, tangannya refleks mematikan ponsel, dia menoleh pada Pram. "Maaf mengganggu, tapi ada yang mencarimu di depan." Pram menunjuk ke arah yang dimaksud.

Bible? 

"Seorang perempuan." Seakan bisa membaca isi pikirannya, Pram langsung menampik harapan bodohnya itu, Biu tersenyum kecut, tentu saja bukan Bible, tapi dia tetap beranjak dari tempat duduknya di belakang rak obat-obatan, berjalan ke depan.

"Papa ..." Biu sedikit terkejut saat menemukan Sakya yang berlari ke arahnya, punggungnya masih menggendong tas ransel, anak kecil itu langsung memeluknya, seakan mencari perlindungan, Biu berjongkok untuk memeriksa keadaannya.

"Sakya pulang dengan siapa?" tanyanya. Biu sempat terkesiap karena dia baru ingat belum menjemput Sakya dari sekolah tapi anak ini tiba-tiba sudah muncul di hadapannya. Sakya tidak menjawab, dia hanya melirik ke arah kursi, Biu mengikuti arah pandangnya dan dia menemukan May di sana.

"Sakya pulang dengannya?" tanya Biu memastikan, mau tidak mau Sakya mengangguk karena begitulah faktanya.

"Habisnya Papa tidak datang-datang, jadi ... Sakya tidak punya pilihan," tuturnya menjelaskan, mungkin Sakya tidak ingin papanya merasa kecewa karena Sakya menerima ajakan wanita itu, sepertinya dia tahu papanya tidak suka melihat Sakya bersama dengannya.

"Maafkan Papa, ya, Nak. Papa ingin berbicara dulu dengannya, Sakya tunggu di sini dengan uncle Pram, ya?" Sakya mengangguk takzim, dia menghampiri Pram yang sudah mengulurkan tangannya.

"Lima menit, Biu. Aku ingin mengatakan sesuatu." Sebelum Biu mengusirnya, May lebih dulu bersuara, lancang meminta waktunya yang berharga.

Biu menghela napas kasar. "Baiklah, tapi tidak di sini. Ikuti aku!" Biu melangkah lebih dulu, membuka pintu keluar, meninggalkan Apotek yang kebetulan sedang sepi. Langkahnya langsung berhenti di kursi Halte beberapa meter dari Apotek.

"Waktu lima menitmu dimulai sekarang," tuturnya dengan intonasi datar yang terdengar dingin.

"Di sini?" May menengok keadaan sekitarnya, ini tempat yang sangat umum, dia pikir Biu akan mengajaknya ke tempat makan atau ke tempat yang memiliki privasi.

"Di sini atau tidak sama sekali."

May tak punya punya pilihan, Biu tidak bisa menerima tawar-menawar, wanita itu menghela napasnya sejenak, menatap Biu yang entah bagaimana keadaannya, May tak bisa menebaknya, dari luar dia terlihat sangat tegar.

"Aku turut berdukacita dengan apa yang menimpa Bible, ini pasti berat untukmu." Biu tidak bereaksi, matanya menatap tajam ke arah May, berusaha menelaah apa niatnya ketika berkata demikian, apakah dia sedang mengejek keadaannya?

"Sebenarnya Bible sempat menemuiku, itulah alasannya kenapa aku bisa mendapatkan fotonya tempo hari." May terus bercerita, waktunya tidak banyak.

"Aku mungkin terlalu meremehkannya, ternyata dia lebih cerdas dari yang kuduga, dia bisa membuat pilihan yang berbeda dariku," lanjutnya seraya memalingkan pandangan sejenak, melihat anak anjing di sebrang jalan yang sedang mengibaskan ekornya.

"Aku tidak datang untuk menghiburmu, Biu. Aku hanya ingin mengakui bahwa aku telah salah menilai, kupikir aku bisa membantu Sakya tapi ternyata aku hanyalah seorang wanita jahat yang egois." Tatapan Biu melunak, tidak setajam tadi, tapi tidak cukup lunak untuk membuatnya tersenyum, wajahnya masih datar tanpa ekspresi.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang