8. Rahasia Sakya

596 103 6
                                    

Gedung Apotek diisi dengan tawa renyah Dania. Perempuan berusia 25 tahun itu tengah menggoda Sakya, padahal dia tahu jika Sakya tak bisa diajak bercanda. Tapi, namanya juga Dania, wajah tertekuk Sakya adalah puncak komedi baginya, pekikan Sakya bagi Dania adalah sebuah alunan musik yang mengasyikan. Perempuan itu terus mengganggu Sakya yang tengah fokus mencoret-coret buku polos berukuran A3.

Sementara Biu dan pram tengah menata berbagai macam merek botol obat-obat ke dalam etalase. Biu tidak masalah selagi Sakya tidak merengek mengadu padanya, ia sedang sibuk. Kebetulan hari ini stok obat datang, Pram yang seharusnya mendapat jatah libur saja datang ke Apotek untuk membantu. Sebenarnya dilakukan berdua saja mampu, tapi Pram memaksa ingin membantu, ya, Biu tahu maksud terselubung Pram. Pria itu tampak memiliki ketertarikan dengan Dania—sangat gentleman.

"Obat yang sudah kadaluarsa ini mau ditata dan dibungkus sekarang?" tanya Pram.

Biu yang sedang berjongkok mencatat stok mendongak. "Singkirkan saja dulu, nanti saya yang urus."

Pram mengangguk dan memasukkan beberapa botol obat yang sudah tidak dapat dikonsumsi lagi ke dalam kardus. Lalu menaruh box tersebut di lantai di sisi etalase.

"Papaaaaaaa!!!!"

Nah, Sakya sudah berteriak, terdengar suara tawa Dania.

"Papaaaaaa!!!" Dania ikut berteriak, "lebih kencang Sakyaa ... seperti ini, PAPAAAAAAAA!!!" Wanita itu cekikikan, bukannya menenangkan, malah meledek Sakya.

"Dania, daripada mengganggu Sakya. Lebih baik kamu menggangguku." Kalimat Pram sama sekali tidak membantu, pria itu kicep saat mendapat juluran lidah dari Dania. Biu yang melihat itu kembali menggeleng kecil. Itu gombalan yang payah.

"Teriak lagi Sakya ..." pancing Dania. Perempuan itu semakin menjadi-jadi karena Biu tidak pernah marah dan menegurnya.

"Kembalikan!!" teriak Sakya, tapi Dania tetap menyembunyikan pensil warna milik Sakya di saku blezernya. Biu tidak menanggapi, pekerjaannya harus selesai hari ini.

Tring ...

Mendengar bel yang otomatis berbunyi ketika pintu terbuka membuat Dania menaruh pensil warna milik Sakya ke atas meja dan berdiri setelah mencubit kecil pipi tembem itu.

"Selamat datang ..." Bibirnya tersenyum lebar. Menyapa lelaki yang dikiranya sebagai pasien.

"Uncle Bible!!!!" teriak Sakya, membuat Biu yang sedang berjongkok spontan berdiri hingga menabrak Pram yang tengah lewat mengangkat box—jatuh. Semua botol berserakan. Pram mengaduh tertahan, beruntung botol di dalam box itu terbuat dari bahan plastik, jadi Pram tak perlu khawatir obatnya akan rusak.

"Maaf, Pram." Biu bergerak kebingungan, gugup, tangannya memang membantu Pram merapikan obat, tapi pikirannya masih tertinggal di catatannya, entah kenapa suhu di sekitarnya terasa memanas, hingga pipinya sedikit memerah.

Sudah jelas Biu salah tingkah. Lelaki itu kenapa tiba-tiba muncul di Apoteknya? Astaga, padahal Biu sedang berniat menghindarinya. Dia masih kaget dengan pernyataan Bible yang tiba-tiba mengungkapkan perasaannya, entah kenapa Biu merasa terganggu akan hal itu.

Berbeda dengan Bible yang terlihat sangat percaya diri, dia memiliki aura yang berbeda dengan terakhir kali datang ke sini. Biu sempat meliriknya, bahkan Sakya sudah turun dari kursinya.

"Tak apa, biar aku yang bereskan, kau lanjutkan saja kegiatanmu." Suara Pram membuyarkan pikiran Biu, dia menatap buku catatan dalam pelukannya, sedangkan Bible datang dengan membawa perasaannya. Dia berjongkok, merentangkan tangannya, menyambut Sakya yang berlari ke arahnya, memeluknya.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang