33. Seni Untuk Merelakan

800 78 26
                                    

Pagi ini Biu menatap matahari terbit lebih lama. Suka tidak suka, mau tidak mau, benda langit itu akan selalu muncul setiap harinya, waktu tidak akan pernah berhenti hanya karena dirinya sedang kacau.

Jadi, di sinilah dia sekarang berada, bersama puluhan atau mungkin ratusan orang yang berlalu-lalang di pelataran Bandara. Sebagian dari mereka mungkin sedang menunggu kedatangan sanak saudara, sisanya adalah kenalan, teman, atau orang tua yang mengantar orang-orang terkasih mereka untuk pergi.

Biu berdiri menatap putra kecilnya yang sedang dipeluk oleh ayahnya, dia memutuskan untuk mengambil cuti lebih cepat.

Jika ingin memulai awal yang baru, Biu harus benar-benar melepaskan segala sesuatu yang membelenggu hatinya, mungkin dengan menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan Sakya, bisa sedikit membantunya untuk menerima kenyataan.

"Uuhh, Nenek pasti akan merindukan Sakya." Jane berucap sambil memeluk erat tubuh cucunya, menggerakkannya pelan seperti tidak ingin melepaskan.

Biu yang mendengar itu tersenyum tipis. "Kami hanya berlibur sebentar."

Jane mendengus menatap putranya, "Masalahnya, kamu tidak pernah berlibur, sekali berlibur malah memilih negara yang jauh."

"Hanya berjarak sekitar lima belas jam," balasannya yang kembali membuat sang ibu mendengus. Biu tahu jarak segitu bukanlah dekat, tapi baginya, jarak jauh maupun dekat tetap tidak membuatnya bertemu dengan pria muda itu.

Jane berdiri dan menatap sayu. "Jaga dirimu, Nak, ibu harap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari dan melepaskan apa yang seharusnya pergi. Ibu hanya bisa menguatkan dari jauh, kamu bisa melakukannya sendirian, 'kan?"

Sebenarnya Biu tidak terlalu yakin, tapi dia akan mencobanya, Biu mengangguk samar lalu mendapatkan pelukan dari kedua orang tuanya sebelum berbalik meraih tangan Sakya untuk masuk ke dalam barisan, mengantre.

***

London masuk ke dalam daftar Kota terindah di Inggris, merupakan pusat seni, musik, teater, sastra dan budaya. Kebetulan yang sangat menguntungkan, Biu membawa Sakya berlibur ke sini bertepatan dengan turunnya salju. Sakya berseru ria ketika telapak tangannya menyentuh kepingan salju halus, ini pertama kalinya.

Biu harus lebih ekstra memakaikan pakaian tebal pada Sakya. Cuaca di sini dan cuaca di negara sendiri, tentu sangat berbeda.

"Pa ... kita akan ke mana lagi?" Sakya bertanya antusias, setelah beberapa hari di sini, Biu membawa Sakya berkeliling ke berbagai tempat wisata anak-anak, tapi kali ini Biu ingin membawa Sakya ke tempat di mana bukan hanya Sakya yang antusias, pun dengan dirinya.

Biu tidak menjawab, tetap menggenggam erat tangan si kecil untuk bergegas masuk ke dalam taksi yang sempat dihentikan beberapa menit yang lalu. Biu memasangkan sabuk pengaman, lalu merapikan syal Sakya yang sedikit tersibak.

"Dingin?" tanyanya.

Sakya mengangguk kecil. "Pa, Sakya ingin tinggal di sini, seru, bisa bermain setiap hari."

Celotehannya membuat Biu tersenyum tipis, mungkin itu bisa saja terlaksana jika Biu tidak mengambil keputusan bodoh itu, bahkan mungkin liburan kali ini bukan untuk sebuah pelarian.

Biu memalingkan pandangan ke luar jendela, gedung-gedung yang berbaris di pinggir jalan memiliki gaya arsitektur khas Eropa, jalanan pagi ini sangat ramai, banyak pejalan kaki, Biu memandangnya satu persatu, barangkali ada wajah yang dikenalnya di antara puluhan orang itu.

Namun, perjalanannya terlalu singkat, Biu mengerjap saat taksi yang dinaikinya berhenti di depan gedung megah, hampir semua orang yang masuk ke dalam datang mengenakan pakaian terbaik mereka, Biu turun setelah membayar dan sedikit berbasa-basi, mengucapkan terima kasih.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang