31. Kabar Aroma Tanah

398 85 17
                                    

Satu persatu manusia berbalik arah, melangkah menjauhi gundukan tanah yang masih basah, aromanya bercampur dengan wewangian bunga yang tertabur di atasnya, dilengkapi dengan lambang salib di tengahnya. Biu masih memandangnya dari kejauhan, air matanya jatuh menggantikan hujan yang baru reda.

Potongan tubuh Bible ditemukan tepat sebelum pencarian dihentikan, keluarga Summetikul langsung bergerak cepat, ingin segera menyemayamkan jenazahnya. Biu tidak mempunyai keberanian untuk menghadiri proses pemakamannya, bagai seorang pengecut dia bersembunyi di balik pepohonan, menyaksikan puluhan manusia pergi dari sana, menyisakan keluarga intinya.

Agatha masih menangis di atas nisan anaknya, sedangkan kedua anaknya, Mile dan Tessa mencoba membantunya untuk bangun. Tuan Summetikul memerintahkan mereka untuk segera pulang, untungnya Agatha berhasil dibujuk oleh Jonathan, dia memapah ibunya menjauhi makam Bible.

Kini tak ada siapa pun di sana, Bible sendirian.

Ragu-ragu Biu melangkahkan kaki mendekatinya, ia tidak bisa mengendalikan diri ketika berhadapan langsung dengan gundukan tanah yang masih basah itu, air matanya jatuh ke atas nama Bible yang terukir di atas nisan, ada sesak yang menerobos masuk ke dalam dadanya, yang mengoyak hatinya hingga tak menyisakan bentuk apa-apa selain kehancuran.

"Saya datang, Bible." Suaranya gemetar menahankan isak.

"Saya belum menjawab lamaranmu tapi kenapa kamu malah tertidur di sini? Tak maukah kamu menyematkan cincin itu di jari manis saya?" Nyeri di dadanya kian menguat, selama beberapa saat Biu tidak berbicara lagi, tangannya mengusap nisan, menghapus tetes air yang menodainya, air mata yang tercampur dengan air hujan.

"Kamu sendiri yang bilang, Bible, kamu tak akan membiarkan jari manis saya kosong, saya menunggumu untuk menepati itu. Saya datang untukmu." Sebuah isakan lolos dari mulut mungilnya. Sesal yang tumbuh di dalam dirinya semakin menjalar, mendesir dalam aliran darahnya, berdetak dengan sejumlah detak jantungnya.

"Tolong jangan pergi secepat ini, Bible. Saya mohon ..." Penyesalan itu sudah menjadi lumpur nanah yang menenggelamkan seluruh kebahagiaannya, Biu menangis sejadi-jadinya, di bawah gerimis yang kembali turun menghujam bumi, Biu tak peduli hingga dia tak menyadari ada seorang lelaki yang hadir di dekatnya, memayungi tubuhnya.

***

Asap yang mengepul dari secangkir kopi panas  menyebarkan wangi yang menguar menggantikan aroma khas tanah. Biu mendekap cangkirnya dengan kedua tangan untuk mengusir dingin, gerimis yang melanda di luar sana belum reda.

Hujannya menderas, Biu menatapnya tak berkedip, bagi Biu setiap tetes hujan adalah sebuah kubangan yang bisa saja membuatnya terjatuh saat menginjaknya. Pandangan kosong itu melesat jauh pada kenangan beberapa bulan ke belakang ketika seorang pria muda meminjamkannya sebuah payung, air hujan itu berpindah ke matanya, harusnya waktu itu Biu tidak menerima payungnya.

"Biu ..."

Panggilan samar itu membuat Biu menoleh, lelaki yang tak asing di matanya juga meminjamkannya payung, baru beberapa saat yang lalu, dia tersenyum simpul, senyuman yang mirip dengan milik kekasihnya. Dia sudah memperkenalkan dirinya sejak di lokasi pemakaman, Jonathan, kakaknya Bible.

Jonathan mengajaknya berteduh di warung kopi sederhana di dekat makam, selama bermenit-menit lamanya Biu tak berani membuka percakapan, dia sedang merasa rendah diri, tapi sepertinya Jonathan ingin menyampaikan sesuatu. "Sebenarnya aku tidak tahu harus memulai dari mana," ujarnya membuka percakapan.

"Bible terlalu sering bercerita tentangmu, dia selalu mengganggu pekerjaanku hanya demi mengutarakan perasaannya untukmu, dulu aku merasa kesal, tapi anehnya hari ini aku merindukannya. Tanpa sadar aku selalu menatap ponselku, berharap akan berdering lalu menampilkan namanya." Matanya yang tadi menatap kosong mulai beralih memperhatikan Jonathan.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang