22. Pintu Tanpa Kenop

355 76 7
                                    

"Sakya akan baik-baik saja 'kan?" tanya Biu sembari mencuri-curi pandang pada ruangan yang hendak ia tinggalkan. Meski ukuran ruang lomba cukup luas, tapi para orang tua tidak diperbolehkan masuk karena takut mengganggu konsentrasi para peserta.

"Kalau kau sangat khawatir biar aku saja yang membelinya, kau tunggu saja di sini, Honey." Tadinya Bible mengajak Biu untuk membeli minuman, waktu yang diberikan untuk melukis lumayan lama, Bible ingin mereka menunggu di tempat yang nyaman, mungkin sambil bercengkrama.

Biu menggeleng, dia juga harus menyampaikan sesuatu pada Bible. "Saya ikut, tapi jangan pergi terlalu jauh, kita harus segera kembali." Bible tersenyum padanya, mengangguk antusias, tangannya meraih jemari Biu, menggenggamnya sembari berjalan menyusuri pekarangan yang luas dan ramai.

"Honey, Sakya juga penting bagiku, tentu saja aku juga ingin mendukungnya secara langsung." Mendengar itu Biu langsung tersenyum manis, dia membalas genggaman tangan Bible, keragu-raguannya seketika hilang, Biu percaya pada kekasihnya.

Sayangnya mereka berdua memutuskan untuk segera kembali setelah mendapatkan minuman yang dibeli. Kedai di sebrang jalan ternyata sangat ramai, mereka harus mengantre dan Biu tidak sabar melihat si kecil lagi.

Bible juga sudah tak berselera untuk bercengkerama ringan, sejujurnya Bible juga gugup, setibanya di depan ruangan perlombaan dia langsung memperhatikan Sakya yang duduk tenang di kursinya, tapi tiba-tiba Bible berdecak ketika matanya menangkap wanita cantik yang bergerak menghampiri Sakya.

Entah sedang membicarakan apa, dia menunjuk ke arah lukisan si kecil. Bible hanya tersenyum tipis ketika Sakya yang terlihat acuh tak acuh, hingga membuat wanita itu tersenyum tipis dan kembali ke tempatnya.

Ketika Alarm berbunyi, pertanda waktu telah berakhir, Bible menarik Biu untuk berjalan mendekat ke arah pintu ruang lomba. Keduanya tersenyum lebar ketika melihat Sakya turut berlari dari kerumunan anak-anak yang mencoba keluar dari sana.

Bible berjongkok dan mengusap puncak kepala si kecil. "Bagaimana? Sakya puas?"

Sakya mengangguk. "Iya Uncle, sebenarnya tadi Sakya deg-degan tapi Sakya bisa menyelesaikan lukisannya, kok."

"Good boy," puji Bible, membuat Sakya tersenyum lebar bersamaan dengan Biu yang turut berjongkok.

"Anak Papa hebat."

"Papa juga hebat," balas Sakya.

Bible terkekeh kecil. "Kalau Uncle?"

"Uncle yang terhebat," pekik Sakya sambil memeluk Bible erat, ketiganya terkekeh. Tidak memedulikan tatapan tidak suka dari wanita di ujung pintu.

Ketiganya meninggalkan gedung kesenian sejenak, mencari makanan ringan untuk Sakya yang sepertinya sudah kelaparan. Di sepanjang jalan Sakya menunjuk berbagai makanan dan minuman, Bible menyetujui semua yang diinginkannya, tapi Biu tidak.

Sakya sampai menarik pakaian Bible berkali-kali sebagai kode meminta bantuannya untuk membujuk Biu supaya memberikan restu.

"Honey ..." Namun, baru saja Bible memanggilnya lembut, Biu sudah menggeleng tegas, rayuannya tidak mempan.

"Tidak, sekalinya tidak ya tidak. Sakya kamu sudah banyak membeli makanan, Sayang. Apa perutmu tidak kenyang?" Sakya berdecak pelan. Bible yang melihat raut wajah masamnya langsung berusaha menghibur.

Sebelum berhasil membuat Sakya tertawa, seorang panitia lebih dulu bersuara. Sakya melonjak senang, akhirnya sudah tiba waktunya pengumuman, mereka bertiga mendekat ke sumber suara.

Sakya menoleh pada Bible dan Biu yang berdiri tidak jauh darinya. Peserta diminta untuk berdiri di tengah-tengah. Biu tersenyum simpul penuh kekhawatiran, sedangkan Bible mengangkat kepalan tangannya untuk menyemangati si kecil. Sakya mengangguk yakin.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang