9. Rencana Hidup Bible

571 98 11
                                    

Hening membungkus ruangan pribadi Bible, membuatnya harus memutar otak untuk memancing Sakya bicara, anak itu sedang meneliti sekitar, seperti ingin memastikan sesuatu, tapi di ruangan ini tidak ada apapun, kecuali alat-alat lukis dan meja serta kursi. Bible memutuskan untuk membuat ruang pribadinya sendiri di studio ini, karena tak ada ruang di rumahnya yang besar.

Beruntung dia bertemu dengan Yaya yang bersedia membantunya, gadis pendiam itu bahkan tidak banyak bertanya kenapa namanya yang dipasang di atas plang studio.

Alasannya sudah jelas, karena Bible tidak mau keluarganya sampai tahu akan hal ini.

"Eum, sebenarnya ..." Sakya mulai buka suara, sepertinya dia sudah yakin tanpa harus dibujuk lagi. "Dia jahat pada Papa, karena dia Papa jadi sakit dan sedih," lanjut Sakya sembari mengaduk-aduk cup es krim di hadapannya.

"Memangnya dia siapa?"

"Tidak tahu," ucap Sakya tanpa menoleh, mata bulat itu menatap ice cream yang mulai mencair.

"Lalu, bagaimana Sakya bisa tahu kalau dia menyakiti Papa?"

Sakya menunduk dan menggeleng kecil, membuat Bible tidak bisa melihat jelas bagaimana raut wajah Sakya saat ini. "Sakya pernah melihat papa menangis ketika memandangi fotonya."

Dahi Bible mengkerut setengah terlipat. Biu mengenalnya? Kalau begitu dia bukan orang asing untuk Biu. "Jadi, papamu menyimpan fotonya, ya?"

Sakya mengangguk.

Bible paham sekarang, ia mulai menebak mungkin wanita itu adalah istri Biu. Entah apa yang terjadi tapi hubungan mereka sepertinya tidak berjalan baik, hingga Sakya menganggap ibunya sebagai orang jahat. Bible mulai beringsut maju lalu menumpahkan tangannya ke atas meja, meriah jemari Sakya.

"Sakya pernah bertemu wanita dalam foto itu?" tanyanya dengan intonasi yang lebih lembut dua kali lipat.

Sakya mengangguk sebagai jawaban. "Tapi Uncle Bible jangan beritahu Papa!" Anak itu berseru mengingatkan, membuat Bible tersenyum tipis, cepat-cepat dia mengangguk, tentu saja Bible tak akan memberitahu Biu.

Lelaki itu mengelus puncak kepala Sakya dengan lembut, membuat Sakya mendongak, menatap Bible. "Uncle Bible juga tidak suka melihat papa Sakya sedih. Jadi ... mari kita membuat papamu bahagia bersama-sama, ya?"

"Bersama? Memangnya bisa?"

"Kenapa tidak?" Bible menyunggingkan senyumnya. Jika Papanya tidak bisa didekati, bagaimana kalau anaknya yang ia dekati lebih dulu. "Kebahagiaan Papa ada pada Sakya, kebahagiaan Sakya ada pada lukisan. Dan Sakya bisa menuangkan kebahagiaan Sakya di tempat Uncle untuk membuat Papa bahagia."

"Lalu, kebahagiaan Uncle Bible?" tanya Sakya dengan nada polos.

"Papamu bahagia."

Sakya mengerjap, anak itu mungkin tidak paham apa yang dimaksud oleh Bible, tapi kemudian dia tersenyum semringah, kalau papanya bahagia tentu saja Sakya akan setuju.

***

"Kau baru pulang?" Suara itu membuat Bible menoleh, dia menatap pria yang sedang duduk di pelataran rumahnya menggenggam sebuah buku ditemani satu cangkir kopi dan sepiring kue tart. Si kebanggan ketiga.

Bible mengangguk. "Iya."

"Dari mana?" Bible terdiam, dia menengok sekeliling, Jonathan saudaranya ini unik, dia seperti memiliki kepribadian yang berbeda, jika di hadapan papanya dia akan menjadi dingin dan keren, jika hanya berdua dengan Bible, dia akan bersikap lebih santai.

Meski Jonathan sama seperti anggota keluarga lainnya, sama-sama cerewet jika menyangkut tentang masa depannya, tapi ada sedikit nilai plus dari kakaknya itu. Bahwa Jonathan tidak semenyebalkan Mile dan Tessa, atau papa dan mamanya.

Jari Manis BiuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang