Luna 7

463 51 8
                                    

Asahi berjalan keluar restoran hotel diiring bungkukan badan sopan dari dua karyawan yang berdiri di sisi kanan dan kiri pintu masuk. Sejatinya ia masih sulit percaya dengan jati diri yang diungkapkan Haruto sejak kemarin, tentang hotel bintang lima ber-standar internasional yang menjadi 'tempat tinggal' keluarganya dan fakta jika dia juga punya black card.

Tapi, melihat bagaimana semua karyawan hotel tanpa terkecuali, melayani Asahi bak seorang putri bangsawan pagi ini--padahal yang dia lakukan cuma sarapan--mau tak mau membuat gadis itu tak bisa lagi meragukan fakta jika laki-laki yang dulu ia kenal sebagai seorang mahasiswa lusuh, berantakan, dan nyaris gembel, ternyata adalah anak pemilik hotel yang kehidupannya jauh di atas garis standar ekonomi negara.

Apa itu yang disebut low profile? Batin Asahi sambil melirik para karyawan hotel yang akan menundukkan kepala setiap kali berpapasan dengannya di saat tamu-tamu lain yang juga berlalu-lalang di lobi tidak ada yang diperlakukan begitu. Hanya pada Asahi, mereka menunjukkan sikap hormatnya.

Tiba-tiba langkah kaki gadis berperawakan mungil memelan dan akhirnya berhenti sama sekali ketika sepasang mata bulatnya menangkap sosok punggung orang yang terlihat familiar sedang berjalan di lobi hotel sendirian. Seorang wanita tinggi, ramping, dengan rambut hitam sedada yang dibiarkan tergerai ringan mengikuti ayunan kaki panjangnya yang jenjang.

Asahi membuka tas kerja dan mengambil ponsel. Dia mengusap layar ke atas, mencari satu nama di daftar kontak lalu menelponnya.

Junkyu sedang berjalan sambil tersenyum-senyum mengagumi betapa indah dan mewah cincin berlian pemberian Yedam yang kini tersemat di jari manis tangannya. Gadis itu terhenyak dan baru mengalihkan pandangan dari cincin di jari manakala ada getaran benda yang asalnya dari dalam tas. Junkyu mengambil ponselnya dan memandang layar yang menampilkan nama kontak ASAHI sedang menelpon.

"Hello~ Sahi-chan~" sapa Junkyu begitu sudah menerima panggilan.

"Apa yang harus aku lakukan?" gadis di telpon bertanya dengan nada datar.

"...ne?" Junkyu tidak mengerti maksud kata-kata temannya barusan.

"Kau sekarang sedang memakai blus putih tulang corak bunga-bunga, rok coklat, dan flat shoes. Jam tanganmu warna merah marun dan kau baru saja menyibakkan rambut."

Sekejab Junkyu berhenti berjalan, mematung di tempat mendengar semua penuturan Asahi yang terlalu detail itu. Gadis tersebut menelan ludah dengan gugup.

"Kau...ada dimana?" desis Junkyu.

"Tepat di belakangmu," jawab Asahi. Nada suaranya--entah kenapa--masih bisa tenang, tak ada emosi lain seperti rasa heran, kepo, atau terkejut.

"Teruslah berjalan. Jangan menoleh, jangan menyapaku. Jalan saja terus seolah-olah kita tidak saling kenal."

"Oke." 

Gadis mungil mengakhiri telpon. Dan seperti kata-kata Junkyu, dia mengayunkan kaki berjalan melewati temannya begitu saja seakan-akan mereka adalah orang asing. Well, Asahi paham kenapa Junkyu menyuruhnya bersikap tak acuh karena tidak ada orang yang ingin terlihat baru saja menginap di hotel, apalagi dia seorang wanita muda. Walau sebenarnya ada banyak alasan untuk itu, namun secara umum hal tersebut akan lebih dulu memberi stigma (citra buruk) di mata orang lain.

Keluar dari lobi, Asahi menghentikan taksi dibantu karyawan yang biasa mengurus parkir kendaraan para pengunjung hotel. Dia mendudukkan diri di kursi belakang saat tiba-tiba pintu sampingnya terbuka dan masuklah Junkyu yang juga langsung duduk di sebelahnya.

Asahi terdiam, hanya menatap Junkyu yang balik memandangnya tanpa mengatakan apa-apa.

"Kalian saling kenal?" tegur sopir yang memperhatikan dua wanita di bangku penumpang yang tadi masuk hampir bersamaan.

LUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang