Sekte

0 0 0
                                    

Aku tak pernah percaya dengan mimpi.

Begitu sebelumnya.

Sampai aku mengalami mimpi berulang tentang datangnya manusia bergaun putih-putih di teras rumahku. Mereka menenteng lentera di saat cuaca dingin di bulan Desember berjalan melewati hamparan salju tanpa alas kaki dan mantel membalut tubuhnya.

Mama dan Papa selalu pergi ke Gereja berdua saat malam Natal. Mereka tak pernah mengajak kami (aku dan kakak)
Kami selalu di biarkan berduaan menatap lampu berkedip di hiasan yang tergantung pada cerobong asap sampai kami tertidur. Dan pagi harinya mereka akan tiba-tiba saja ada di rumah dan memasak kalkun hangat untuk makan bersama sambil membuka kado.

Dan mereka selalu pergi tiap malam tahun baru.

Kami tahu betapa kakak menginginkan melihat pertunjukkan firework di jembatan merah yang menghubungkan dermaga dengan terusan menuju laut itu. Biasanya ada ribuan ledakan di udara menjelang pukul 23.30 sampai lewat jam 00.00. Tapi mama dan papa seperti punya acaranya sendiri yang tak bisa mereka lewatkan sampai menjelang pagi.

Dan seperti tahun-tahun yang lalu, mereka meminta maaf sambil membelikan barang-barang yang bagus.

"Aku tak mau tertipu lagi." Kakak menggenggam erat syal nya ia tampak muak. "Lagipula ada dua mobil di rumah ini dan aku punya sertifikat mengemudiku sendiri."

"Yaudah ayo nonton kembang api berdua." Ideku.

"Mereka tak akan mengijinkan, pasti malah kita di kunci di dalam rumah."

"Jadi apa rencananya." Bisikku.

Kakakku mengeluarkan kunci mobil dari sakunya. "Aku sudah mencuri salah satu kunci mobil sebelum mereka menyembunyikan."
Ia menyeringai nakal.

"Pasti ketahuan, mereka selalu mencarinya sebelum pergi, mereka harus memastikan hal.."

"Hei, bodoh, kunci mobil selalu dikasih 2 oleh penjualnya buat jaga" kalau satunya hilang."
Kali ini ia memukul kepalaku. "Sudah ikuti saja rencanaku, mulailah tidur setelah jam 8 nanti, pastikan kau pura-pura dengan baik." Ancamnya sebelum pergi.

"Atau aku tinggal sendirian." Ancamnya sekali lagi dari balik pintu.

***

Dan semua berjalan sesuai rencana. Aku menutup wajahku dengan selimut dan pura-pura tidur.
Aku mendengar mama berkata "mereka sudah tidur." Pada papa sebelum menutup pintu dengan bunyi klik pelan.

Lalu perlahan suara deru mobil berjalan terdengar semakin menjauh.

"Ayo cepat." Kakaku sudah bersiap dengan baju hangatnya. "Apa yang kau lakukan ayo,"

"Tenanglah, tengah malam masih lama."

Aku menurut dan melompat lewat jendela, karena seluruh pintu terkunci seperti biasa. Dan jika aku tanya mereka akan mengatakan itu tak sengaja seperti tahun sebelumnya.

Kakakku Sarah mengaktifkan GPS , ia mengikuti sebuah titik yang bergerak melewati jalan utama menuju jalan bebas hambatan.

"Apa yang kamu lakukan? Aku kira kita akan nonton kembang api." Tanyaku.

"Tidak , aku akan mengikuti kemana mereka pergi."

"Apa gunanya, bukankah kamu ingin liat kembang api, mengapa kita tidak kesana saja, kita bisa mendapat masalah jika mereka memergoki kita."

"Aku ingin tahu rahasia apa yang mereka sembunyikan. Bukakah kamu pernah mengatakan sering bermimpi melihat orang dengan baju putih menari di sekitar api unggun di tengah badau salju."

"Bukan hanya badai salju, mereka juga menari di atas hamparan daun gugur dan rumput hijau, mereka menari sepanjang musim."
Gumamku.
"Lalu apa hubungannya."

"Diamlah Garreth aku sedang menyetir."

Sarah mengatakan sambil berkonsentrasi pada titik hijau yang berjalan keluar menuju pinggiran hutan.

"Dan bagaimana kau bisa mendapatkan lokasi mobil mereka?"

"Aku meletakkan earpads di bagasi mobil mereka."

"Yah, kau cukup jenius sebenarnya."

Lalu kami tertawa bersama.

***

Setelah 1,5 jam berkendara titik hijau itu berhenti di sebuah pinggiran hutan, kami semakin mendekat sekitar dua ratus meter lalu mengendap-endap mendekat.

"Apa yang mereka lakukan disini, berburu Moose?" Bisikku sambil mengendap di semak-semak mati tertutup salju.

"Entahlah Garreth, tapi perasaanku gak enak."

Puluhan mobil terparkir di halaman rumah peternakan, Porsche, Ford, dll.
Mereka berbincang bersama beberapa orang lain yang masih sama sama mengenakan mantel.

Lalu satu wanita gemuk muncul dengan lonceng di tangan, membuat suara beberapa kali dentingan, orang-orang berjalan bersama menuju halaman belakang.

Hamparan salju itu putih, tapi ada kepala kambing yang di ukir dari tembaga berwarna kuning yang diusung oleh beberapa pria di tengahnya. Mereka muncul dengan gaun putih dan baju putih setelan seperti piyama untuk para pria. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan tapi jelas itu bukan ritual keagamaan.

Mereka mulai bergandengan bernyanyi dengan nada bass, tenor, dan sopran tapi aku tak mendengar lagu gereja dari mulut mereka, tapi hanya lengkingan aneh dari bahasa yang tak ku pahami sama sekali.

Saat mereka berhenti, seorang pria tua membuka buku besar seperti bibilografi raksasa. Ia membaca seperti membaca ayat-ayat kitab suci membuatnya dramatis. Lalu mereka mulai teriak-teriak ngaco bersemangat menjilat-jilat salju.

Lalu api unggun itu di nyalakan.

Kepala kami berdenyut keras. Kami terlempar.

Aku ingat. Itu bukan mimpi. Tapi mereka pernah membawa kami sekali waktu kami masih kecil untuk ritual kelahiran.

Tiba tiba wanita gemuk itu menyalakan loncengnya berkali-kali saat kami menggelepar di balik hadangan pohon pinus mati.

Dan mereka mulai diam membuat simpul di tangan dengan tiga jari diangkat ke angkasa. Sementara tangan kirinya di silangkan di dada.

Tiba-tiba aku menemukan kesadaranku, aku menarik sarah dan membawanya ke mobil. Kami ngebut sampai rumah dan masuk ke jendela dengan gemetar.

"Hai Honey." Terdengar dari ruang sebelah.

Kami merasa aneh.

Aku kesana bersama sarah.

Seluruh anggota manusia berbaju putih berdiri di ruang makan bersama Mama dan Papa.

Ini untuk pertama kalinya aku melihat mereka yang sebenarnya, mereka menghidangkan kaki manusia yang di bumbui dengan rosemary dan basil sebagai pengganti kalkun. Dan bola mata dibuat menjadi Sup..

"Surprise." Mereka berteriak.

Aku benar-benar bergetar.

"Bagi mereka yang sudah melihat ritual kami, maka akan kami undang mengikuti perjamuan kami."

"Garreth, lari." Teriak Sarah.

Tapi aku baru berbalik dan wanita gemuk itu membunyikan loncengnya lagi.
Kali ini kami terpaku, berjalan dengan patuh menuju meja makan.

Mereka mulai menyanyi lagi,
Mama meletakkan napkin di pangkuanku, lalu memotong kaki manusia itu sedikit dan menghidangkan di piringku, begitu pula dengan sarah. Tak lupa salad dari potongan kulit wajah dan meatball mata segar itu ia letakkan disana.

Sarah menangis, tapi si gemuk membunyikan loncengnya lagi.

Tangan kami memungut garpu dan pisau.

Selamat Makan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LATE NIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang