Petasan = Petaka

0 0 0
                                    

Dooor...

Aku dan kedua orang tuaku terkejut ketika bersantai di ruang tamu.
"Ah anak-anak itu." Bapak membuang koran yang tengah dibacanya ke meja dan bergegas menuju teras.

Aku menengok ke jendela sekelompok anak kecil berlarian menjauh dari rumahku.

"Nakal-nakal banget sih anak-anak sekarang."

"Bilangin ke orang tuanya lah Mah, Pah. Main sih main, kalau sampai lempar petasan ke rumah  itu udah mengganggu ketentraman." Sahut kakakku yang turun dari kamar sambil masih mengenakan mukenah.

"Nanti dikira kita yang berlebihan ama orang sini, soalnya sama anak-anak kecil serba repot kak." Sahut Mama.

"Kurang ajar emang anak-anak itu." Omel papa setelah puas berteriak di depan rumah.

"Tetangga lihatin papa tuh karena neriakin anak kecil." Mama memarahi papa.

"Biarin lah mah, gak minta makan ama mereka juga." Sahut Kakak.

"Sudah-sudah ayo berangkat terawih aja." Potong Ayah sambil mengenakan peci dan mengambil sajadah.

"Lho dek, kamu gak ikut."

"Gak mah, adek ada kelas online ada kuis penting juga malam ini."

"Kelas online kok gak tau waktunya orang terawih." Omel papa sambil keluar diikuti mama dan kakak.

Sepeninggal mereka aku menutup pintu rumah dan mulai kelas online.

Satu jam kemudian, muncul gerombolan anak kecil tadi mendekati rumahku.

"Tuh anak pada ga terawih ya, ngapain pakek sarung kalau gitu."

Dooor...
Dooor...

Mereka semakin keterlaluan, melempar petasan ke halaman rumah dan ke balkon rumah.

Aku terganggu saat mengikuti kelas online. Aku segera meminta ijin untuk ke kamar mandi sebentar. Aku menuju mobil pickup ayah yang ada di belakang. Aku harus mengerjai balik anak-anak itu.

Lalu aku membungkus guling dengan kain putih dan menggantungnya dengan seutas tali rafia.

Saat anak anak itu mulai mendekat, aku menjatuhkan guling itu hingga terlihat seperti hantu yang menggantung.

Bukannya takut mereka justru tertawa. Aku menarik guling itu ke belakang tapi malah diikuti oleh mereka.

Beberapa dari mereka melempar boneka hantu itu dengan petasan. Aku semakin kesal, aku bergerak menuju pintu belakang dan memarahi mereka.

"Woy anak kecil (ngomong kasar) aku aduin ke orangtuanya ya!"

Mereka mengejek aku sambil menggoyangkan pinggulnya.

"Yah, mereka berdiri di lingkaran yang tepat."

"Coba lempar petasan lagi kalau berani." Tantangku.

Mereka merasa tertantang. Salah satu dari mereka melempar sebuah petasan berukuran cukup besar ke arahku.

Blaaaaarrrr...
Petasan itu mengenai tumpahan bensin mobil pick up ayahku yang sebelumnya ku buka dan sengaja ku tumpahkan.
Tubuh mereka disambar api dan terbakar. Mereka berteriak kesakitan, tapi tenang saja, semua orang sedang terawih. Tak akan ada yang mendengar mereka.

Aku mengambil peci dan sajadahku dan menuju musholla juga.

Aku tak mau menjadi orang yang di salahkan dengan peristiwa kebakaran mobil dan anak-anak itu.

Tentu saja ayah terkejut melihatku di musholla. Tapi kami mengaku mereka sering membuang petasan di rumah kami, jadi mayat mereka lah yang bersalah, dan aku masih berada disini dengan bebas meski seminggu setelahnya aku masih mendengar rintihan mereka di luar dinding belakang rumah.

Coba saja buang petasan di rumahku lagi. Hahahahahaha

LATE NIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang