Namaku Kakoa, aku tinggal bersama Bibiku, Lena dan sepupuku Shawn, bersama kami juga tinggal kakek ku yang sudah berumur 98 tahun yang sudah sakit dan lumpuh.
Kesehariannya hanya duduk di kursi roda, untuk ke toilet dan melakukan aktivitas, aku , bibiku, dan si kecil Shawn bergantian membantunya.Sebenarnya aku tinggal disini karena aku dititipkan sejak 4 tahun yang lalu oleh kedua orang tuaku. Semua ini akibat perusahaan kopi milik ayahku yang mengalami kebangkrutan dan keluarga kami dililit hutang yang cukup besar, lalu semua hal berharga milik kami jatuh ke pelelangan, termasuk kepemilikan peternakan dan bangunan bekas pabrik, semua hilang tak tersisa.
Meskipun begitu, itu tak cukup untuk menutupi hutang kami. Ayah dan ibuku akhirnya pergi ke kota untuk bekerja. Ibu bekerja sebagai tukang jahit, dan ayahku bergabung ke sebuah firma ternama di kota.
Sedikit demi sedikit mereka bekerja dan kami mulai menutupi hutang sedikit demi sedikit meski belum semuanya.Awalnya semua ini sangat membuatku sakit, aku sering mual dan tak dapat tidur nyenyak karena turut memikirkannya. Beruntung aku memiliki bibi yang baik yang bersedia menampungku, meski akhir-akhir ini ia mulai berubah dan sering menyalahkan aku tentang beberapa hal.
Yang terbaru adalah saat kakek tertidur sepanjang malam di toilet karena tak ada yang membantunya masuk ke kamar setelah buang air besar. Bibi memarahiku dan mengatakan jika itu salahku.
Padahal aku mendengar malam itu kakek diantar oleh Nami. Dia adalah sahabatku yang sering datang menginap setiap malam, dan malam itu ia yang membawa kakek ke kamar mandi, lalu aku terlelap karena terlalu lelah.
Tapi bibi tetap menyalahkan ku, terutama Shawn yang juga sering memfitnahku, tentang semua kejadian aneh di rumah, padahal semua itu ulah Nami, manusia yang tidak beretika dan tidak tau cara berlaku sopan di rumah orang.
Malam ini bibi selalu melihatku saat makan malam dengan tatapan sinis, aku ingin melemparnya dengan sisa roti di piringku, tapi aku mengurungkan niatku, aku akan mengirim surat pada ayah dan meminta ikut ke kota saja. Keluarga ini mulai memperlakukan aku dengan kurang baik.
Aku lalu kembali ke kamar, kulihat kakek sedang duduk di pinggir jendela sambil mendengarkan music clasic dari J.S Bach di sana.
"Dia biang masalahmu disini." Kata Nami yang muncul tiba-tiba.
"Kau mau apa kesini lagi. Sudah cukup masalah kau buat."
"Tenanglah aku akan mengakhiri setiap masalah dari akarnya sekaligus."
"Hentikan Nami, aku tak mau menjadi kambing hitam atas kelakuanmu lagi."
Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Dengan begitu aku berharap ia akan pulang.
Tapi ternyata aku salah, ia justru mendekati kakek dan membawanya ke dekat tangga. Menempatkan kursi rodanya di ujung tangga menuju ke bawah.
"Apa yang dia lakukan." Pikirku.
Kakek bisa ketakutan , tapi ia tak mampu berteriak karena ia sudah kehilangan kemampuan sebagian besar saraf nya.Tapi kejadian yang tak terduga terjadi, dengan satu sentakan Nami mendorong kursi roda hingga terjatuh ke tangga, tubuh kakek tergelincir dan berguling-guling lalu mendarat dengan leher menghantam lantai dengan keras.
Bibi berteriak kencang, lalu menggedor pintu kamarku dengan sumpah serapah.
Aku tak menyalahkannya, Nami datang ke rumah ini karena aku. Aku hanya bisa diam bersandar di pintu sambil menangis sepanjang malam.
Hingga pagi hari aku terus menangis. Sampai polisi datang dan memintaku keluar.
Aku keluar dengan mata sembab dan wajah tertunduk.
"Kau titisan Lucifer!!!" Itu kata yang di ucapkan bibiku.
Tapi tak apa, ini salahku telah berteman dengan Nami yang jahat.
Polisi membawaku keluar, dan mengajakku ke kantor polisi untuk beberapa keterangan. Karena aku adalah satu-satunya orang yang melihat Nami di sana.
Orang-orang melihatku sambil mengelus dada saat melihatku keluar dengan opsir polisi. Mungkin mereka kasihan dengan aku yang harus disalahkan oleh Bibi Lena karena kejadian ini.
Tubuh kakek sudah berada di dalam peti yang di bungkus kain hitam dan bunga mawar kuning yang dirangkai membentuk lingkaran diatasnya.
"Maafkan aku Kek, seharusnya aku keluar lebih cepat dan menghentikan dia, bukan hanya diam melihatmu mati."
Bisik ku saat melewati mayat kakek.Aku dibawa dalam kereta, dan mereka mengikat kedua tanganku. Aku tak tahu kenapa, bahkan dua orang turut menemaniku di dalam.
Aku tak sabar ingin melihat seringai jahat Nami yang kini berubah tangis di dalam penjara. Aku akan memakinya dari luar jeruji dan mengutuknya agar pergi ke neraka bersama para pendosa.
Tak terlalu lama aku sampai, dan mereka mendorongku dalam sebuah ruangan kecil pengap dan lembab. Aku bertanya mengapa, tapi mereka hanya diam.
Lalu dimana Nami?
Dimana monster pembunuh itu?
Mengapa aku yang dibawa ke penjara?Kepalaku menjadi pusing.
Aku terjatuh dan tertidur.Saat aku tidur Nami sudah ada di sampingku.
Hai Kakoa, ayo kita bunuh juga polisinya.