16. Kakak

16 5 0
                                    

MINGGU, 19 JULI 2015

Sabrina duduk termenung menatap sebuah gedung tinggi berwarna putih dari jendela kamarnya.

Apa benar jiwanya sudah terguncang?

Sabrina menghembuskan nafas lelah lalu menulis dua kalimat di sebuah kertas warna. "SEMOGA SEMBUH, HABIBI. MAAF TIDAK MENJENGUK."

Sebuah suara terdengar mengalun di indra pendengaran Sabrina. Suara dari kamar  sebelahnya yang telah sekian lama tak di tempati. Namun, esok tadi pemiliknya datang dan kembali menempati namun masih enggan menemui Sabrina.

"Ku terpikat pada tuturmu...
Aku tersihir jiwamu..."

Sabrina memejamkan mata menikmati semilir angin sore dan alunan lagu dari seseorang.

"Terkagum pada pandangmu...
Caramu melihat dunia...

Ku harap kau tahu bahwa ku...
Terinspirasi hatimu..."

Lagu yang berjudul 'Jatuh Hati' yang di rilis oleh penyanyi bernama Raisa pada bulan Januari 2015 itu akhir akhir ini selalu di nyanyikan teman temannya dengan nada riang penuh semangat, sangat tak sesuai dengan nadanya. Berbeda dengan seseorang yang berkamar di kamar samping kamarnya yang penuh penghayatan hingga dirinya menghela nafas dan mendadak pikirannya bercabang memikirkan segala hal. Mulai dari keluarga, saudara, percintaan dan pendidikan. Semuanya nampak kacau tak sesuai ekspetasinya.

Apa benar kalau cintanya bertepuk sebelah tangan?

Mengapa cinta pertamanya jatuh memilih pada seorang yang lebih muda darinya? Bahkan dia tidak tahu latar belakang orang itu?

Habibi.

Selamat. Kamu telah singgah di hatinya.

Dia memang berjanji untuk tidak mengganggu. Tapi bukan berarti dia  menyerah untuk mencintai Habibi.

Jika kalian bertanya pada Sabrina, siapa itu Habibi? Bagaimana tampaknya? Maka Sabrina akan menjawab.

"Habibi adalah cintaku. Cinta yang murni tanpa karna dan mengapa. Dia putih tinggi, posturnya tegap seperti pangeran dari negri dongeng, giginya berderet rapi dengan dua gigi kelinci, bibirnya merah muda dengan senyum khas yang menawan, yang seperti hanya di miliki olehnya seorang. Langkahnya tenang tanpa terburu. Iris matanya berwarna hazel, sebuah ketenangan dan keindahan tersembunyi darinya tersimpan disana. Sangat beruntung orang yang senantiasa bisa menatap matanya. Bulu matanya lentik. Alisnya melengkung, tidak tipis pun tidak tebal. Hidungnya termasuk mancung tapi tak terlalu mancung. Rambutnya hitam kecoklatan saat di bawah sinar hangat mentari. Suara merdunya sering terlantun untuk membaca kitab suci Al Qur'an. Sebuah kesempurnaan tergambar pada diri Habibi, bagi Sabrina walau sesungguhnya tiada yang sempurna di dunia ini. Di sekeliling Habibi terdapat banyak orang orang berkualitas yang mengitari Habibi layaknya para tokoh yang siap mengawal hidup seorang putra mahkota. Aku mungkin bisa saja minder saat berharap dapat di cintai kembali olehnya. Tapi aku bukan tipe perempuan seperti itu. Aku bukan terobsesi. Aku hanya memperjuangkan cintaku. Aku. Bukan. Terobsesi."

Brak!

Terdengar suara benda yang terjatuh, Sabrina reflek berbalik dan melihat ke arah pintu kamarnya. Setelahnya, Sabrina menutup jendela kamarnya lalu memutuskan untuk keluar kamar guna melihat apa yang terjadi.

Saat keluar kamar, pemandangan yang pertama di lihatnya adalah jejak sepatu yang mengarah ke kamar sampingnya yang pintunya terbuka.

"Kakak?" panggil Sabrina seraya mengintip ke kamar seseorang yang di panggilnya dengan panggilan kakak.

"Kalau Ayah nyari gue, bilang aja 'nggak tau'" ucap perempuan yang ada di dalam kamar tersebut yang tengah tidur tengkurap memeluk bantal guling.

"Lo ngapain ke sini? Ini kan rumah Ibu gue. Bukan rumah Ibu lo!" seru Sabrina dengan garang yang tak di tanggapi oleh  perempuan yang mungkin sudah berkelana dalam mimpi itu.

"Ck!"

Sabrina berdecak sebal lalu berniat keluar rumah tapi di hentikan oleh Niko--Abangnya.

"Kita latihan boxing, hari ini!" ucap Niko seraya menjambak rambut Sabrina dan membawa Sabrina ke arah belakang rumah.

"Abang! Sakitt!" rintih Sabrina namun tak di hiraukan oleh Niko

"Lebih sakitan mana saat di tinggal Mama pergi?" tanya Niko yang membuat Sabrina teheran.

"Apa hubungannya? Sabrina bukan pembunuh Mama!" ucap Sabrina

"Iya bukan. Tapi lo berkaitan" ucap Niko

"Berkaitan apa nya, Kak! Sabrina masih SMP. Sabrina nggak tau apa apaaa" rengek Sabrina yang membuat Niko geram.

Plak!

Niko berbalik dan menampar Sabrina. "DIAM!" teriak Niko

Sabrina menunduk meneteskan air mata tanpa isak suara.

Niko kembali menyeret Sabrina. Namun kali ini, Sabrina akan diam.

"Niko!" panggil seorang perempuan yang berkamar di samping kamar Sabrina dari lantai 2.

Niko yang awalnya ingin keluar pintu lantas langsung berbalik dan mendongak melihat ke arah perempuan itu.

Niko tersenyum miring. "Cuih! Anak pelakor! Gimana rasanya piatu?" tanya Niko dengan nada mengejek

Perempuan itu menuruni tangga dengan langkah tenang. Rambut sebahu, celana jeans robek dan kemeja berwarna hitam itu menyimpulkan bahwa perempuan itu suka berpenampilan tomboy.

"Dia adek kandung lo kan? Terus kenapa Ibu gue lebih peduli sama dia dibanding elo sama bokap lo yang jelas jelas masih sedarah?" tanya Perempuan itu

"Kak Zara!" tegur Sabrina seraya melotot ke arah perempuan itu dan menggeleng seolah mengisyaratkan untuk jangan berdebat dengan seorang Niko. Walau dia agak membenci kakak tirinya itu, tapi Sabrina tetap tidak ingin ada pertengkaran apalagi di depan matanya.

Perempuan tomboy yang bernama Zara itu menaruh jari telunjuknya tepat di depan Sabrina seolah mengisyaratkan untuk diam.

"Ngapain ke sini? Ini rumah ibu gue!" seru Niko

"Terus kenapa? Nyokaplo juga udah meninggalkan? Terus kata Tante, rumah ini kelak jatuh kepemilikanny ke Sabrina kan? Dia aja nggak protes. Kok elo sewot amat. Emang lo siapa?" balas Zara

"Keluar lo dari rumah gue! Atau gue bilangin ke Ayah!" seru Niko

"Tukang ngadu. Lo nggak lebih baik dari adeklo" ucap Zara

"Hidup masih bergantung sama Ayah! Perusahaan juga warisan! Serumah sama Ayah di Singapura! Serumah sama Ayah di Jakarta Pusat sama Surabaya! Ngikutin Ayah terus! Nggak mandiri! Lah gue sama Sabrina? Sabrina hidup di rumah megah sendirian! Ya dia emang di biayai, tapi gue tau dia kesepian! Dan Gue hidup sendiri! Kerja keras sendiri buat sekolah! Ayah cuman ngasih uang buat makan! LO HARUSNYA BERSYUKUR YA BEGO!" teriak Zar

"Tau apa lo sama hidup gue? TAU APA? YANG GUE ALAMI SELAMA INI LO TAU? NGGAK KAN? LO CUMAN TAU DASARNYA AJA! GUE EMANG NUMPANG SAMA HARTA AYAH! TAPI ELO NGGAK TAU RESIKONYA! LO NGGAK TAU HIDUP GUE! HARUSNYA KALIAN YANG BERSYUKUR!" teriak Niko tak mau kalah

Niko melepaskan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Sabrina lalu keluar rumah dan tancap gas pergi entah kemana.

"Ngambek tuh. Itu yang kata Ayah anaknya yang dewasa, berwibawa, bijaksana?" monolog Zara

Sedangkan Sabrina menatap sendu mobil Niko yang keluar halaman rumah.

Dulu, kakaknya tidak seperti ini.


Bersambung...

NOT ALONE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang