15. Siaran

29 6 0
                                    


-

NOT ALONE-

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

°•°•°•°

Tringgg..

Handphone berdering, Diva mengangkatnya dengan segera. Pasti itu teman temannya. Dan ternyata benar, itu Hamza.

"Halo?"

"Div, di sana ada Habibi?"

"Ada. Kok lo tau?"

"Gue tadi lihat kalian sepulang sekolah"

"Oh? Tenang aja, adek lu aman sama gue"

"Bukan gitu, suruh dia pulang ya. Ada hal penting"

"Oh oke"

"Udah itu aja, thanks"

"Iye"

Sambungan tertutup. Diva menoleh ke arah Habibi. Habibi yang tengah asyik menonton tv dengan wahid dengan nasi goreng yang ada di depan keduanya.

"Bib!" panggil Diva

"Eh ya bang?"

"Lo di suruh pulang sama Hamza" jawab Diva

Habibi lantas berdiri dan bergegas mengambil tasnya. "Pulang dulu ya bang!" pamit Habibi

"Eh iya, hati hati ya. Dah malem, jauh juga" ucap Diva yang di angguki Habibi.

"Wassalamualaikum"

"Waalaikumussalam"

---

Waktu menunjukkan pukul 9 malam. Habibi menghembuskan nafas lelah seraya memandang sebuah bangunan rumah sederhana yang gelap dari dalamnya, seperti sedang mati lampu.

Ngeek...

Pintu terbuka, menimbulkan suara pintu tua yang khas ketika di buka.

"Assalamualaikum" salam Habibi dengan pelan.

Tyarrr!!

Suara semacam kaca pecah itu membuat Habibi bergegas masuk lebih dalam. Habibi menghidupkan lampu ruang tamu tapi mati.

Arghh

Habibi merintih kala merasakan telapak kakinya memijak sebuah serpihan lancip.

Habibi kembali berjalan lebih dalam.

"Bibi? Kak Adit? Paman?" panggil Habibi

Tak lama kemudian, sang Bibi terjatuh tepat di bawah Habibi. Habibi kaget dan langsung menghidupkan saklar lampu ruang keluarga.

Habibi kaget saat melihat wajah Bibinya yang banyak goresan dan mengeluarkan darah.

"Nak, tolong selamatkan Adit. Pamanmu mabuk lagi" ucap Bibi

"Bibi!" seru Habibi saat melihat bibinya tak sadarkan diri

Habibi menoleh ke depan, ke sebuah lorong menuju dapur yang gelap. Habibi melempar tasnya ke karpet lalu bergegas mencari paman dan sepupunya.

Trang!!

"PAPA! STOP PA! INI ADIT! ADIT BUKAN ADI!" teriak Adit

"Diam kau ANAK HARAM! MATI DAN SUSULLAH IBUMU SEKARANG JUGA!!!" teriak Paman

Prang!

Terdengar suara lemparan piring, Habibi bergegas mencari saklar dapur. Saat berhasil memghidupkan lampu, Habibi terkejut saat melihat kondisi Adit yang mengenaskan. Kaki dan tangan yang di tali kuat, tangan dan kaki yang di sayat sayat dan kepala yang berdarah darah.

"BANG ADIT!" teriak Habibi

Sang Paman menoleh dan mengacungkan pisau ke Habibi. "ADI! KAU MASIH HIDUP TERNYATA HAHAHA SIALAN!"

"ASTAGHFIRULLAH! PAMAN! ISTIGHFAR!!" teriak Habibi seraya berjalan mundur

"CUIH! SOK SUCI!" seru Paman yang melangkah lebar melewati tubuh putranya yang bersimbah darah tak sadarkan diri.

Sang Paman meraih ulegan yang ada di dekat rak piring lalu berajalan mendekati Habibi yang berjalan mundur dengan raut cemas. Dia bingung apa yang harus dia lakukan? Memberontak? Tidak, itu hanya akan memperkeruh suasana, pamannya akan semakin marah dan beresiko akan membunuhnya. Berteriak meminta tolong? Mustahil ada yang mendengar, tetangga tetangga di sekitarnya tengah bepergian bersama. Seandainya saja, Bibi, paman dan sepupunya ikut bepergian, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini. Pamannya pasti tidak akan mabuk dan mencelakai keluarganya seperti ini.

"PAMAN STOP!"

"ADI! SELAMAT JALAN!" teriak sang Paman seraya melempar ulegan.

Brak!

Habibi terjatuh dengan kepala yang membentur dinding. Pandangannya memburam, kepalanya terasa sakit luar biasa.

Dia tidak menyangka, serumit ini kehidupan bibinya.

Kelopak matanya tertutup, yang terakhir di lihatnya adalah sebuah gulungan kertas kecil yang di jatuhkan dari ventilasi dapur.

"Siapapun kamu, pergi!"

-----

Sabtu, 18 Juli 2015

Suasana pesantren di pedesaan yang begitu damai. Lampu lampu kuning yang menyala dari maghrib hingga subuh di matikan para Ustadz yang berpiket.

Semua Santri bebersih lingkungan pesantren di jam 6 pagi, kebersamaan dari santri santri yang kompak bebersih dengan sesekali tertawa bercanda menambah kesan kebersamaan yang kuat, dan ukhuwah islamiyah yang begitu kental.

Kiai Galeh melihat dari kejauhan, beliau sudah menginjak usia 60 tahun dan pesantren saat ini di pegang oleh putra tengahnya yaitu Kiai Manaf karna putra sulungnya memilih merintis usaha di kota dan putra bungsunya tengah fokus ke keluarga. Tentu sebagai Ayah, Kiai Galeh hanya mampu mensupport putra putranya itu. Beliau tidak ingin memaksa putranya itu untuk meneruskan kepengurusan pesantren, beliau hanya ingin mewariskan kepengurusam pesantren hanya kepada putranya yang memiliki keinginan untuk meneruskan dan menjalankan pesantren ini saja tanpa pemaksaan.

Pesantren yang berdiri sejak tahun 1965 itu sebenarnya adalah warisan dari almahrum ayah beliau. Yaitu Kiai Saleem yang meninggal di tahun 1985, saat beliau berusia 30 tahun dan putra bungsu beliau saat itu (Fatir) berusia 7 tahun.

Kiai Saleem memiliki 4 anak. 2 Putra dan 2 Putri. Dan Kiai Galuh merupakan putra pertama dan satu satunya keturunan Kiai Saleem yang di harapkan dapat memegang dan meneruskan pesantren karna satu putra lainnya yang merupakan adik Kiai Galeh memilih menikah dan melanjutkan hidup di luar kota.

Sedangkan, di dalam ndalem. Kiai Galeh dan Kiai Fatir tengah berbincang bincang dan duduk santai di kebun pesantren seraya mendengarkan sebuah radio yang tengah menyiarkan sebuah berita hangat.

"......seorang Ayah mencelakai 3 anggota keluarganya. Salah satu di antaranya merupakan keponakannya. Ketiganya terluka parah dan di larikan ke rumah sakit terdekat. Satu di antaranya di nyatakan koma..."



Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NOT ALONE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang