Part 35

777 22 0
                                    

"Aku emang gatau gimana kisah cinta kamu di masa lalu, tapi aku bakal buktiin ke kamu kalo aku ga kaya mereka. Aku akan selalu di samping kamu dan selalu sayang sama kamu."

Aneska Zoya Raveena

***

Hari ini adalah babak final untuk lomba voli antara kelas Galen dan kelasku. Sejak semalam Galen sudah heboh agar aku mau memberinya semangat di lapangan. Awalnya aku menolak, tapi karena dia terus memaksa aku mengiyakan permintaannya.

Sekarang aku berada di bawah tiang bendera bersama Fely, karena disitulah semua bisa terlihat dengan jelas. Aku hanya bergumam ketika melihat Galen hampir terkena smash bola. Sedangkan Fely terus saja sibuk dengan novelnya. Semua siswa yang menonton sibuk meneriaki Galen, membuatku sedikit kesal.

"Makanya, jangan mau kalah. Kasih semangat dong!" Ucap Fely yang sepertinya sadar dengan ekspresiku. Aku menghela nafas panjang.

"Gamau ah, malu. Teriak-teriak kaya di hutan aja." Aku beralih membuka ponselku, sekedar untuk mengalihkan perhatianku.

***

Suasana koridor saat ini sangat sepi. Setelah kelas Galen memenangkan pertandingan tadi, semua siswa membubarkan diri dan kembali ke kelas masing-masing. Berbeda dengan kantin yang kini dipenuhi cowok. Mereka asik bermain gitar sambil bernyanyi. Dan di antara mereka, ada aku dan Galen yang tengah menikmati bakso dipojokan.

"Nanti jadi kan?" Tanya Galen yang membuatku menoleh dan mengangguk. Baso kecil yang langsung aku masukkan utuh kedalam mulutku pun belum sempat kukunyah. Galen mengusapnya dan tertawa kecil.

"Jangan tinggalin aku ya!" Ucapnya lirih membuatku menaikkan sebelah alisku, menatapnya bingung. Galen tertunduk lesu.

"Aku gaakan ninggalin kamu, Ga." Ucapku tersenyum tulus sambil mengusap pipinya lembut.

"Maaf ya kalo aku berlebihan sama kamu, aku cuma gamau kisah masa lalu aku keulang lagi." Suasana yang awalnya ceria, kini berubah menjadi melow diantara kami. Aku meraih tangan Galen dan menggenggamnya erat.

"Aku emang gatau gimana kisah cinta kamu di masa lalu, tapi aku bakal buktiin ke kamu kalo aku ga kaya mereka. Aku akan selalu di samping kamu dan selalu sayang sama kamu." Kami saling tatap dan tersenyum.

"Janji?" Ucap Galen penuh harap. Tapi aku sedikit ragu untuk mengucapkan kata itu, karena bagiku janji bukanlah sebuah mainan. Janji bukan lagi hanya mengikat manusia, melainkan berurusan langsung dengan Sang Pencipta.

Melihatku yang hanya diam wajah Galen berubah lesu. "Gamau ya?" Ucapnya pelan.

"Bukannya gitu Ga, aku gamau janji ketika aku lagi bahagia. Aku takut itu cuma akan ngecewain kamu suatu saat nanti." Ucapku dengan hati-hati. "Meskipun aku gabisa janji, tapi aku bisa pastiin ke kamu kalo aku gaakan pernah ninggalin kamu. Kecuali, kamu sendiri yang pengen aku pergi dari hidup kamu. Bagi aku janji itu bukan mainan. Jadi, please, jangan buat aku kaya gini!" Lanjutku, menjelaskan semua yang ada di pikiranku.

"Jadi kamu gamau? Padahal aku cuma mau bukti kalo kamu gaakan ninggalin aku." Ucapnya lirih dan berhasil membuat hatiku seperti ditusuk bertubi-tubi.

"Ngertiin dong, Ga! Lagian kenapa kamu ga percaya sama aku?!" Aku mulai tersulut emosi saat Galen tidak mau mengerti dengan kekhawatiranku.

"Kamu juga ngertiin aku dong, sayang. Aku cuma gamau kamu pergi. Lagian kalo kamu emang beneran gabakal ninggalin aku, kenapa gamau janji?" Bujuknya.

Entah kenapa aku merasa aneh dengan Galen. Dia memaksaku? Padahal hanya masalah sepele bagiku, tapi dia membuatnya menjadi panjang. Sebenarnya aku sangat kesal dengan tingkahnya, tapi karena aku tidak ingin berlarut-larut melawan egonya, akhirnya aku mengalah.

"Oke, fine! Aku janji!" Galen tersenyum mendengarnya, tapi tidak denganku. Moodku menjadi buruk, bahkan tidak berniat menghabiskan bakso yang ada dihadapanku.

"Ga iklas ya?" Sepertinya Galen menyadari perubahan moodku. Aku menghela nafas panjang, perasaanku kacau saat ini.

"Iklas kok," Jawabku cuek tanpa menatapnya.

"Kenapa mukanya jadi gitu?" Tanyanya lembut, aku hanya menggeleng sebagai jawaban.

***

Motor Galen menembus ramainya jalanan kota. Langit yang mulai gelap, membuat kota semakin indah dengan lampu jalanan yang mulai menyala. Sejak kejadian di kantin tadi aku tidak berbicara dengan Galen sama sekali. Meskipun dia mencoba mencairkan suasana, tetap saja rasa kesal masih menyelimuti hatiku. Bahkan aku enggan memeluknya saat ini, tak peduli jika aku jatuh.

Aku melihat Galen mengubah posisi spionnya agar bisa memperlihatkan wajah kami. Menyadari hal itu, aku mengalihkan pandanganku agar tidak menatapnya. Tak lama Galen menepikan motornya. Dia menurunkan standart motornya dan turun, sedangkan aku masih setia duduk di atas jok motor. Kami saling menatap datar tanpa bicara.

"Turun, yang!" Ucap Galen pada akhirnya. Dengan malas aku menuruti ucapannya.

"Kenapa sih? Ini masih jauh, dan kamu belum magrib!" Ucapku dengan nada kesal, tapi Galen tidak menjawab dan terus menatapku datar.

"Kamu marah sama aku?" Tanyanya lembut.

"Gak!" Jawabku ketus. Galen menghela nafas pelan. 'Udah tau pakek nanya lagi!' batinku kesal.

Galen menarik pinggangku sampai tubuhku menabrak tubuhnya. Perlakuannya sontak membuatku panik dan menatap sekeliling, sepi, entah apa yang orang akan pikirkan jika melihat kami berduaan di tepi jalan yang sepi ini. Ruko yang ada di dekat sini pun tidak ada yang buka. Hanya lampu jalanan yang menemani kami saat ini.

Aku mencoba untuk melepas tangan Galen dari pinggangku, tapi bukannya lepas dia malah semakin mengeratkan pelukannya. Alisku hampir saja bertaut karena kesal menatap wajah Galen. Tak ingin berlama-lama bertatapan dengannya aku mengalihkan pandanganku.

"Rav!" Panggil Galen lembut, tapi aku tidak merespon. Bahkan sepertinya kini bibirku sudah setara dengan hidungku karena cemberut.

"Sayang!" Kini Galen memanggilku sambil mengusap pipiku lembut.

"Apa?!"

Cup!

Mataku membulat sempurna saat merasakan sebuah benda kenyal menyentuh bibirku. Galen menciumku? Apa dia sudah gila melakukannya di tepi jalan seperti ini? Menyebalkan!

Netra kami bertemu sepersekian detik, sampai akhirnya Galen memejamkan matanya dan memiringkan kepalanya untuk memudahkannya melumat bibirku. Kelembutan yang Galen berikan membuatku terlena dan mengurangi sedikit rasa kesal di hatiku. Aku ikut memejamkan mata dan membalas lumatannya.

Astaga! Ini salah! Tapi kenapa tubuhku tidak bisa menolak? Aarrgghh! Galen sesatt!

Pasokan udara di sekitarku mulai menipis, aku memukul pundak Galen agar dia melepaskan pagutannya. Dia membuka mata dan menatapku dengan sayu. Aku meraup oksigen sebanyak mungkin setelah Galen melepaskan pagutan bibirnya. Belum lama aku mengambil nafas, Galen kembali memelukku dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. Kurasakan deru nafasnya menyapu kulitku membuat tubuhku merinding.

"I love you! Jangan marah lagi, ya?" Aku mengangguk pelan dan membalas pelukannya. Mungkin aku memang terlalu berlebihan saat menyikapi sikap Galen di kantin tadi.

31 Juli 2023

Galen [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang