TC 10 -Seorang Ibu 🌱

125 13 0
                                    

Jiwa yang hebat, dan raga nan kokoh. Kamanya yang terus tumbuh, bersama kasihnya yang nirmala, sukmanya yang tak pernah tenang, dan semuanya tentang cinta kasih. Bahunya rapuh, hatinya bergemuruh. Dia sosok Ibu. Sang permaisuri bagi buah hatinya. Kebahagiaan tak terhingga bagi semua insan di dunia. Asalkan ada Ibu, semua akan baik-baik saja.

Tapi bagaimana, jika sosok kecil yang tak bisa dipisahkan dari kehidupannya itu, harus bertahan seorang diri. Jauh dari cinta kasih yang seharusnya ia miliki. Takdirnya sejak ke dunia ini, sudah tidak berjalan lancar. Apa perlu Tuhan uji lagi makhluk-Nya yang satu itu?

Melupakan anaknya yang masih belia, adalah penyesalan terbesar dalam hidupnya saat ini. Sudah berapa lama sejak kejadian itu? Sekarang dia mengerti, mengapa paman begitu bersikeras menyuruhnya untuk ke Indonesia. Hal berharga itu ada di negara ini. Anak yang ia perjuangkan sejak dulu, anak yang sangat ia inginkan kehadirannya di dunia, walaupun banyak orang ingin sosok kecil itu digugurkan.

Hari demi hari, kepingan memori yang tanpa sengaja ia lupa, terkuak kembali. Teka-teki yang kerap kali Hyun Ra terka sendiri, untuk apa ia di sini? Hal berat apa yang rasanya tak kunjung usai mengejarnya? Segala hal rumit, kali ini benar-benar terjawab sudah.

"Gak ada salahnya, kalau kamu mau nangis." Hyun Ra mengedip sekali, sampai embun yang tertahan itu luruh. Sial, padahal ia menahannya sejak tadi, tapi kata-kata itu seolah memberinya mantra. Gus Arayyan menaruh secangkir kopi, lalu melihat keluar jendela. Orang-orang yang dari tadi memperhatikan dengan rasa ingin tahu, langsung fokus pada pekerjaannya masing-masing.

Di kantor kejaksaan, ruangan milik Andre yang besarnya tidak seberapa ini, karena sekelilingnya dinding kaca semua, ia membuka seluruh gorden, hingga banyaknya pekerja yang lain mencuri pandang.

"Saya bingung harus mulai darimana. Saya masih belum paham sepenuhnya, mengenai situasi kamu," ujar Gus Arayyan. Pikirnya sedikit semrawut dengan kasus baru ini, ditambah Hyun Ra ternyata juga ada hubungannya. Entahlah, rasanya Arayyan sulit menafsirkan kata hatinya sendiri.

"Saya mau menemui anggota DPR itu, Gus."

"Tolong ceritakan sedikit, tentang masalah kamu." Hyun Ra menghela napasnya pelan.

"Sebelum ke Indonesia, saya sempat koma satu tahun. Waktu itu saya sedikit mengalami masalah, yang membuat saya terpisah dengan Kim Dooha. Bangun dari koma, saya kehilangan beberapa ingatan penting, dan baru akhir-akhir ini kepingan ingatan saya kembali. Walaupun belum seluruhnya. Sekarang saya tahu, saya punya anak laki-laki tampan, umurnya saat ini, hmm, memasuki delapan tahun. Namanya Kim Dooha, Kim Dooha sangat manis," Hyun Ra tersenyum tipis, membayangkan wajah putranya.

"Dia anak yang penurut, tapi sangat sensitif. Dia suka warna hijau, dia suka kerapihan, dia kadang menyusun sesuatu sesuai jenisnya, atau warnanya, dia ... sedikit spesial. Kim Dooha juga suka berhitung, dia juga pintar membaca. Waktu umurnya empat tahun setengah, dia udah bisa membaca dengan lancar. Dia punya dimple, waktu saya bilang, saya paling suka senyumnya Dooha, dia jadi rajin tersenyum dan tertawa, lalu matanya menyipit." Senyum Hyun Ra mengembang, bayangan Kim Dooha membuatnya rindu teramat.

"Dia bahkan tidak pernah membuat saya kesusahan, justru ... dia cukup dewasa untuk anak kecil seusianya. Ketika ibu saya meninggal, saya cukup mengurung diri di kamar sehari penuh, lalu tidak tahan melihat saya yang seperti mayat hidup, Dooha mengetuk pintu kamar, dengan berbicara lembut, "Eomma, palli mokgo." Gus tahu? Dia membawa dua buah pisang dan menuangkan susu kotak untuk saya." Hyun Ra terkekeh, tanpa sadar menangis lagi.

Gus Arayyan mendorong kotak tisu, pada Hyun Ra. Sedangan gadis itu lanjut bercerita dengan menahan tangisnya, walaupun terlihat percuma, karena rasanya sungguh menyakitkan.

"Setelah sadar dengan apa yang saya lakukan, saya sangat malu. Hari itu Dooha malah lebih dewasa, dibandingkan saya. Tidak ada yang saya katakan lebih dulu, selain, "Dooha yaa~ Eomma mianhae." Dia memeluk saya, dan mengusap rambut saya, "Uljima, Eomma." Saya cukup malu, karena kata itu keluar dari mulutnya, seharusnya di umur segitu, saya yang mengatakan padanya untuk tidak menangis. Ah, saya kelepasan bicara banyak. Maaf," ucap Hyun Ra meringis sedikit.

Gus Arayyan menggeleng, "Tidak, lanjutkan."

"Tidak banyak yang bisa saya katakan, Kim Dooha berada di panti asuhan kala itu, tak bisa saya bayangkan setakut apa dia. Mirisnya, cukup banyak kasus anak panti yang dibawa ke luar negeri. Apa salah semua anak-anak yang diperlakukan begitu? Bagaimana kehidupan mereka?" Hyun Ra tertawa miris.

"Saya tidak akan tinggal diam Gus, saya juga ingin bergerak dan bertindak menyingkap dalang kasus ini, yang banyak merugikan, terutama bagi anak-anak. Apa lagi Kim Dooha yang saya tidak tahu, bagaimana dia saat ini." Hyun Ra menghapus air matanya, sorot mata perempuan itu menajam, terlihat menggebu-gebu, seakan menahan kobaran api didalamnya.

"Saya bisa programmer, dan saya harap Gus mau bekerja sama. Saya ingin tahu Informasi dan data-data tentang anggota DPR yang sedang ditahan saat ini. Saya juga ingin melihat wajahnya. Wajah orang tanpa perasaan itu."

Gus Arayyan membisu sesaat, matanya yang menyorot ke bawah, dengan pikiran yang berkelana. Ditatapnya sepatu putih Hyun Ra, serumit apa perempuan ini? Sepanjang apa setapak kerikil yang dijalaninya? Apa kaki itu tidak lecet dan berdarah selama perjalanan panjang tanpa tahu ujung jalan? Berjalan pelankah ia, berlari, atau malah terseok? Sempatkah ia meneguk air di peristirahatan, atau justru memaksakan diri untuk terus melangkah? Dimana ia akan berhenti? Sejauh dan sedalam apa dunianya?

"Gus, Gus Arayyan!" Arayyan sontak buyar dari lamunan singkatnya.

"hum? Baiklah, tentu kita bisa bekerjasama. Temui lah orang itu tanpa membuat keributan, kita akan ke kantor polisi, setelah urusan di sini selesai." Hyun Ra tersenyum tipis dan mengangguk.

"Hyun Ra," panggil Gus Arayyan, setelah diam seperkian detik.

"Iya?"

"Saya tahu, kata semangat mungkin tidak memberikan dampak apapun padamu saat ini. Tapi saya cuma ingin mengatakannya saja. Kamu hebat, saya tidak tahu hal apa yang terjadi di hidup kamu, tapi saya tahu kamu pasti telah melewatinya dengan baik, hingga saat ini. Walaupun mungkin lelah dan membuatmu prustasi. Berdoa dan terus fokus dengan hijrah mu saja saat ini. Jangan jadikan masalah yang ada, sebagai penghambat bagi kamu dalam transformasi hal baik apapun itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan cobaan, di luar batas kemampuan hambanya. Cuaca tidak akan terus mendung, hujan juga akan berhenti ketika waktunya. Jika tidak menemukan manusia yang tepat untuk berbagi, masih ada Allah yang tak pernah hilang untuk terus dijadikan tempat sandaran dan segala aduan." Hyun Ra cukup terenyuh, senyumnya mengembang tulus. Keren, ini pertama kalinya Gus Arayyan berbicara panjang dengannya.

"Saya jadi optimis lagi kok, Makasih banyak Gus," ucapnya tulus.

Gus Arayyan mengangguk, dan berdiri. "Sudah Adzan, saya akan ke masjid yang tak jauh dari sini. Kamu bisa shalat di mushola yang ada di lantai satu. Nanti selepas shalat, saya berikan copyan data tersangka, dan kembalilah sendiri ke pesantren, akan saya pesankan taksi. Saya ada janji dengan atasan setelah ini. Jika kamu akan singgah ke kantor polisi, nanti akan saya sampaikan pada sipir yang berjaga di sana." Hyun Ra mengangguk, mendengarnya. Gus Arayyan cukup boros kata daripada biasanya, hari ini.

"Ah, iya," Hyun Ra menghentikan langkahnya, kala Gus Arayyan berhenti mendadak.

"Sembari menunggu saya untuk memberikan salinan data nanti, di laci nakas dekat pintu masuk ada permen. Rasa awalnya sangat asam dan sangat tidak mengenakan, tapi nanti akan terasa manis." Ia masuk ke dalam lift lebih dulu, berkata tanpa berbalik menatap lawan bicaranya, dan lift pun berjalan turun. Hyun Ra tersenyum tipis, mendengar itu, ia jadi ingin mencicipinya nanti. Senyum simpulnya menemani dalam menunggu lift saat ini. Satu dua pegawai perempuan tersenyum menyapanya, ikut menunggu lift terbuka.

Ah, Hyun Ra sempat melihat, meja mereka tepat di depan ruangan Gus Arayyan tadi. Ia sadar, sejak awal masuk pun, banyak pasang mata yang melihat ke dalam ruangan Gus Arayyan dengan penasaran. Pasalnya mereka benar-benar bisa melihat dengan leluasa karena semua spot terbuka dan gorden disibakkan. Lingkungan kerja Gus Arayyan terlihat cukup nyaman, dan cukup ramah.

The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang