TO NIGHT - 30

983 96 8
                                    

LALISA MANOBAN POV

AKU berdiam diri memandang hujan yang jatuh satu persatu di atas daun. Entah mengapa rasanya hampa berkepanjangan. Luka yang pernah datang kini datang lagi dengan rasa sakit yang jauh lebih mengerih kan. Mungkin ini akhir dari segalanya.

Sesuatu yang di paksa kan mungkin tidak baik, yang memang bukan milikmu tidak akan pernah menjadi milikmu. Itulah yang selalu Ayahku katakan.

Jika saja aku memiliki rasa sabar dan perjuangan sedikit lagi, mungkin sekarang aku sudah berada di gedung pernikahannya. Menjadi orang bodoh yang menangis dan bersujud memohon ampun padanya. Tapi Tuhan baik, aku tetap berada diam di rumah sambil memikirkan kesalahan yang sebenarnya tidak pernah aku lakukan.

Meski aku harus menjelaskan padanya ribuan kali dengan air mata atau pun darah dia tidak akan memaafkan ku. Satu-satunya bukti yang aku miliki hanya ingatanku yang kembali muncul setelah sekian waktu.

Kai benar, aku kalah darinya untuk kesekian kalinya. Meski caranya mendapatkan Jennie sangat licik tapi aku harus  mengakui bahwa dia menang.

Aku tahu sekarang banyak orang yang ingin bertanya prihal kabar ku tentang pernikahan Jennie dan Kai hari ini, termasuk sahabatku Rose. Dering handphone ku yang tidak berhenti dari pagi membuat benda itu mati sendirinya. Bukan tidak ingin memberitahu bagaimana perasaan ku, aku hanya tidak ingin ada banyak orang yang terlibat masalah ini. Aku salah, aku benar dan haruskah aku berada dalam situasi yang seharusnya tidak ada?

Cermin yang memantulkan diriku itu menunjukkan betapa buruknya kondisi ku saat ini. Meski pun begitu aku tidak peduli dengan penampilan untuk saat ini, hatiku sudah sangat mati rasa.

Ku katakan berulang kali pada diriku untuknya,

"Pada akhirnya dirimu lah yang lagi-lagi pergi meninggalkanku tanpa kata, alasan atau pun mendengarkan ucapan ku."

"Atau sebenarnya diriku lah yang terlalu bodoh mencintaimu tanpa melihat siapa tandingan ku."

Aku pikir tuan Kim adalah hambatan ku jika aku meminta anaknya, tapi aku salah. Aku  meremehkan Kai, pria bajingan yang memprovokasiku dengan Jennie, Pria rendahan yang sengaja menjebak ku dengan wanita jalang itu. Aku tidak ingin memperdebat apa pun soal Kai, dia bermain dengan benar meski pun licik. Aku saja yang terlalu naif percaya pada cinta Jennie.

Hujan mulai redah, langit yang gelap kembali bercahaya. Waktu malam belum datang, dan aku ingin menghabiskan sisa waktu hari ini dengan berjalan di sepanjang bibir pantai.

"Kau ingin kopi?" Irene, wanita yang dulu sempat menjadi masalah bagi Jennie. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa memaafkan ku padahal dulu aku meninggalkannya tanpa mengucapkan kata maaf dengan benar.

Aku tersenyum menyambut senyumannya, ia duduk di sebelahku dan mencegahku untuk pergi. Sudah hanpir seminggu aku berada di pulau ini, semenjak Jennie mengumumkan pernikahannya dengan Kai.

"Aku hanya ingin berjalan." Ucapku sambil menunduk. Aku tahu sangat sulit bagiku untuk menutupi suasana hatiku sendiri, tapi Iren adalah wanita yang peduli dengan kondisiku. Pura-pura tidak tahu hanya untuk menghargai perasaan.

"Setidaknya aktifkan handphonemu jika ingin berjalan." Wanita itu tersenyum sebelum akhirnya meninggalkanku dalam kesendirian.

Aku butuh waktu untuk menenangkan diriku sendiri, aku tidak butuh siapapun untuk berada di dekatku di saat orang-orang itu tidak pernah menganggapku. Bahkan entah bagaimana aku bisa pergi sejauh ini tanpa memberi tahu siapapun.

Aku tahu, keluargaku dan Rose akan mencariku. Tapi kali ini hanya ada aku dan kepedihan yang lagi-lagi terulang.

Sekarang, mungkin Jennie telah mengucapkan sumpah pernikahan dengan pria pilihannya. Dari awal seharusnya aku sadar bahwa dia hanya menginginkan kehidupan normalnya manusia, memiliki anak dan hidup bahagia bersama keluarga kecil. Sedangkan denganku hanyalah mainan kecil yang bisa kapan saja dia buang.

Aku berjalan terus kedepan, memandang hamparan luas laut yang indah. Ombak yang bergerumuh menyambut dinginnya angin. Tanpa ku sadari sentuhan air dingin di ujung kakiku membuatku tenang, ada perasaan hampa yang hilang tiba-tiba.  Kakiku melangkah tanpa diperintah, menerjang ombak yang membawaku pada ketenangan yang tajam. Otakku yang penuh mulai berhenti berbicara, dadaku yang sesak mulai tenang di hempas ombang keras.

Tak ada satu suarapun yang terdengar, pikiranku melayang hanya ada potongan-potongan kecil tentang kenanganku dengan Jennie, pertemuan pertama kami, senyuman hangat yang ia tunjukan dan pelukan-pelukan yang membawa diriku dalam ketenangan yang baik.

Aku mulai berpikir bagaimana jika saat itu aku tidak tergoda dengannya? Bagaimana jika saat itu kami tidak bertemu lagi setelah satu malam yang panas? Apakah hidupku akan jauh lebih berantakan? Atau justru lebih indah?

Dalam diam menikmati dinginnya angin laut, aku memejamkan mata untuk menutup semua kenangan yang ada. Aku berdoa kepada Tuhan semoga di kehidupan ku selanjutnya aku diberi kehidupan yang sama, bertemu dengannya dan menjalani hidup dengannya. Aku ingin memperbaiki kesalahan yang ada, sekarang biarlah dia hidup dengan baik bersama orang lain yang menurutnya baik, aku yakin dia akan bahagia.

Ada hal yang tidak bisa kamu paksakan, sekuat apapun kamu memaksakan diri untuk berusaha, jika kamu bukan di takdirkan untuknya maka kamu tidak akan bersamanya. Itu adalah takdir Tuhan, takdir yang tidak akan bisa kamu rubah.

Tuhan, seputus asa inikah aku kehilangan dia? Kenapa rasa sakit di dadaku mulai kembali? Rasa sesak yang tadi hilang kenapa tiba-tiba menerjangku kembali?

Bahkan dingin airnya laut mulai terasa di bagian leherku. Seseorang terdengar menjerit memanggil namaku tanpa henti, bahkan aku mendengar beberapa orang ikut lari. Aku memejamkan mataku saat angin laut lagi-lagi menenangkanku, angin dingin itu seperti menghiptosisku dengan begitu lembut. Sentuhan dinginnya seperti terasa hangat di pipiku, bahkan seolah-olah memelukku dalam damai.

Dadaku mulai sesak, ini terasa sangat nenyakitkan untukku. Bayangan-banyangan Jennie marah dan menamparku muncuk kembali satu persatu, air mataku terasa mengalir dengan hangat. Aku tahu aku begitu mencintainya hingga aku sehancur ini, hingga aku tidak tahu lagi harus berbuat seperti apa pada diriku sendiri. Seakan-akan perjuanganku selama ini sia-sia dan berakhir sama.

"Lisaaa... aku mencintaimu"

Bahkan suaranya mulai terkenang kembali pada ingatan, seperti dalam mimpi, kenangan manis dan perih yang muncul bergantian. Aku hanya bisa memejamkan mata dan terus berjalan, hingga air laut mencapai wajahku.

"Jen, aku juga mencintaimu. Tapi kau bahkan tidak percaya padaku, sedikitpun kau tidak pernah mau mendengarkan alasanku dan perjuanganku. Aku menjagamu dengan sangat sungguh-sungguh, tapi kau tidak pernah melihat itu."

"Semoga kita bertemu di lain kehidupan, sebagai pasangan yang saling mencintai dan saling mempercayain. "

"I love u, Jennie."
















*****

THE LAST CHAPTER BEFORE ENDING



.
.
.
.
.

Ada Komentar?

TO NIGHT [ JENLISA ] COMPLETETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang