17. hidup tanpa Filosofi

248 30 1
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.

Jirul hanya bisa menghela nafasnya pasrah. Otaknya ini tak sebaik itu sampai mampu mengingat ucapan Kares tiga bulan yang lalu. Jirul harus apa? Hubungannya dengan Kares sejujurnya tak sedekat itu, ia berteman dengan Kares karena mengikuti Chandra. Sampai saat ini kabar Eno dan Juna belum ada perkembangan. Kata Papa, keduanya masih di usahakan untuk tak membahas tentang Kares dan yang lainnya. Mereka bahkan tak di beri informasi tentang kematian Kares dan Kevin.  Sedangkan untuk Garta dan Januar, Jirul sama sekali tak tau.

Chandra sudah sadar, tapi sama sekali tak mau bicara. Kakaknya itu seakan marah pada sesuatu yang bahkan Jirul tak mengerti. Jirul tak tau apa masalahnya, sedangkan ia mulai menerka-nerka sepertinya karena Shita, tapi itu tidak mungkin.

Papa datang tadi pagi kesekolah memberikan laptop Kares pada Jirul, menjelaskan apa yang ayah butuhkan dari Jirul,  tapi ini semua tak semudah itu.

" Gimana kabar kak Echan?" Tanya Jihan duduk di depan Jirul yang mencoba mencari-cari sesuatu di ponselnya.

Kematian Kevin beberapa hari lalu cukup menggegerkan satu SMA. Belum lagi hilangnya Arjuna yang tiba-tiba, menjadikan Jirul sebagai teman keduanya banyak mendapatkan cerita. Belum lagi ia di nilai sebagai anak penuh drama, sejak menjaga Kala, dan tiba-tiba dekat dengan Jihan. Kata orang-orang dia Problematik.

" Masih sama." Kata Jirul sekenanya.

" Cari apa si Ji?" Tanya Jihan merasa di abaikan. Ya meskipun sejujurnya dia menolak Jirul tetap saja Jirul itu pacarnya!

" Aku juga ga tau."

Jirul kembali menatap nanar laptop hitam itu. Katanya kodenya hanya Jirul yang tau, tapi Jirul tak merasa pernah di beritahu, sedangkan kondisi Eno dan Juna juga semakin parah. Dengan frustasi Jirul mengusap wajahnya.

" Istirahat dulu ya? Jangan terlalu maksain. Kalo kamu sakit juga ga bisa bantuin papamu." Ucapan Jihan hanya memicu tangis Jirul terbit.

Cowok itu menangis sesegukan tertunduk tak peduli dengan banyak pasang mata menatapnya. Banyak yang berspekulasi Jirul masih dalam keadaan berduka kehilangan sahabatnya.

Siapapun pasti akan menangis jika sahabatnya mati.

Tangis cowok itu tiba-tiba terhenti. Seakan sesuatu menabrak otaknya.

" Istirahat? Sakit?" Gumamnya menatap layar gelap laptop itu.

Tiga bulan lalu, hari Senin pukul 2 dini hari. Malam itu Jirul baru saja selesai balapan. Cowok itu lagi-lagi kalah, dan kakak harus mengganti uang taruhan mereka lagi.  Duduk bersandar di sofa apartemen Kares yang lama. Dalam keadaan hampir setengah dari mereka tak sadarkan diri akibat mabuk. Sedangkan Jirul yang memang tak suka dengan minuman itu, hanya diam meratapi nasib setelah menyelesaikan satu ronde game online di ponselnya dengan Kares dan Kevin.

Kevin tidur di sampingnya dengan keadaan kaki di atas sofa sedangkan badan di karpet.

Kares tiba-tiba duduk di sebelah Jirul sambil membawa gelasnya. Lelaki itu menawarkannya pada Jirul tapi Jirul menolak.

" Hidup ini, cuma sekali Ji." Kata Kares kala itu. Menatap lurus pada sebuah lukisan dengan panjang 1 meter di dinding.

" Terus?" Tanya Jirul sebab tak suka di ajak mabuk-mabukan lagi.

Dia takut di ejek Echan.

" Kadang biarpun kita sakit, kita harus tetep jalan. Tapi, kita juga butuh istirahat." Tutur Kares seakan menasehati.

Tapi Jirul yakin lelaki itu sudah mabuk.

" Bang udah jangan minum lagi, Lo udah mabok." Kata Jirul membuka ponselnya.

Problem ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang