30. anti-depresan

129 13 0
                                    

.
.
.
.
.
.
Happy reading!!

.
.
.
.
.

" Kala dengerin ayah, nggak semua masalah selesai kalau kala nangis." Kata Jo menatap anaknya yang sudah berlinang air mata.

Gadis itu menangisi mainannya yang terinjak orang-orang di konser Jirul beberapa saat lalu. Kala mengusap air matanya, ia menatap Jo dengan tatapan sulit di mengerti.

" Tapi ini dari kakek dua," Kata Kala dengan bibir membentuk kurva kebawah.

" Tapi kalau Kala nangis mainannya nggak akan balik bener lagi kan?" Kata Jo masih berjongkok di depan anaknya.

Jika sudah begini Windi hanya akan menyimak saja. Jo itu keras soal tangis, seolah hidupnya dulu juga di doktrin demikian. Saat ini mereka berada di sebuah ruangan tempat Jirul tadi bersiap. Anak itu masih sibuk dengan para penggemarnya.

Sebenarnya konser pertama Jirul itu penuh masalah. Banyak yang mengatakan Jirul itu di anak emaskan oleh agensi ayahnya. Tapi nyatanya biasa saja, Jirul juga tidak mendapatkan sesuatu yang spesial. Ia juga latihan lebih dari 14 jam sehari.

" Ayah, kalau Kala tidak boleh menangis kalau sedih, Kala harus bagaimana?" Suara anak itu semakin memilukan.

Akhir-akhir ini, memang emosinya dapat sedikit di kontrol tapi soal tangis masih jadi masalah. Bahkan Kala bisa menangis tanpa sebab yang jelas.

Anak itu di peluk oleh ayahnya, mana mungkin Jo tega melihat putrinya yang begitu malang itu?

" Mbak! Bang!" Jirul membuka pintu ruangan dengan keras.

Jo bingung bukan main saat melihat Jirul membawa dua orang masuk. Itu Arjuna dan Januar.

" Ini Juna dateng! Bahkan sama bang Janu juga!" Katanya bahagia senyumnya seolah tak tau apa-apa.

Jo menggendong Kala untuk mendekat.

" Ji? Mereka kan," ucapan Windi di hentikan tangan Jo.

Lelaki itu memegang tangan istrinya sebagai kode untuk tak bicara. Ada sesuatu yang aneh disini. Jo menatap Juna dan Janu secara bergantian. Dari tatapannya sepertinya mereka juga kebingungan.

" Ayo duduk, gue baru pesen makanan!" Jirul tersenyum lebar sambil mendorong kedua teman lamanya itu untuk duduk.

Mereka semua duduk diam dalam kecanggungan.

Jo masih melihat mereka begitu menuntut penjelasan. Tapi Janu menggeleng hebat sepertinya memang tak tau apa-apa. Jadi bagaimana mungkin Jirul tak mengingat betapa ia membenci mereka berdua?

" Gimana kabar? Waktu SMA Lo pengen ngelanjutin ke luar negeri kan, jadi?"

" H-hah? Enggak, gue cuma cari di deket sini."

Jo dan Windi saling bertatapan.

" Ji." Panggilan Jonathan di abaikan.

" Kak Jirul di panggil ayah." Kata kala mengusap ingusnya.

Jirul menoleh, sambil tersenyum.

" Apa?"

" Mereka siapa ji?"

" Temen gue kan bang,"

Jo mengernyitkan dahinya, ia merasa semakin tak paham. Jirul melupakan hal penting lagi. Sudah beberapa hari ingatannya kacau tapi ini lebih membingungkan. Jo menyerahkan Kala pada Windi. Semua orang disana menatap Jirul khawatir.

" Hilman sekarang dimana?" Jo mendekat, berjongkok di depan Jirul yang sedang duduk.

" Di penjara," senyum anak itu luntur seketika.

Problem ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang