13. BALUWARTI

484 80 2
                                    

     Malam sebagai waktu tenang itu benar adanya. Menikmati kesunyian di antara lelapnya makhluk bumi yang sudah menghampiri alam mimpinya.

     Sudah hari ke dua Rafa masih belum berbicara dengan Nisya dan Jevano. Kekasihnya itu bahkan belum menjelaskan sedikitpun tentang fakta bahwa Marka mengetahui dirinya. Nisya berkata dalam telepon bahwa, "aku mau kasih waktu dulu, Kak. Aku gak mau kak Rafa kena masalah gara-gara aku. Dari pertemuan kemarin itu aku sadar kalau Pak Marka gak nerima kehadiran aku. Meskipun ramah, tapi atmosfer yang dikeluarin buat aku gak nyaman."

     Rafa yang mendengar penuturan kekasihnya itu hanya bisa menyetujui permintaannya. Jarak ini mungkin jawaban dari Tuhan atas keresahannya. Agar Rafa bisa berpikir jernih tentang persoalannya.

     Laki-laki itu memutuskan untuk keluar kamarnya. Melakukan checking seperti biasanya. Lalu pergi ke dapur untuk menyeduh segelas teh panas untuk menemani pikiran ruwetnya. Tepat saat ia keluar dari kamar Hanendra untuk menuju ke dapur, ia berpapasan dengan Jevano. Terlihat rambut yang masih rapih pertanda adiknya itu bukan terbangun dari tidur. Tapi memang belum tidur.

     Jevano melewati Rafa begitu saja ke arah dapur. Menuangkan segelas air dingin pada gelas. "Jev," panggil Rafa sesaat setelah adiknya itu menegak air dingin.

     Tanpa menjawab, Jevano hanya membalikkan badannya. Menatap Rafa sebagai respon. "Ngobrol ya? Di loteng," ajak Rafa.

     "Kalau abang masih mau bahas buat nyuruh Jevan maju. Jevan gak mau ngobrol."

     "Jadi mau terus diem-dieman kaya gini sama Abang?"

     Jevano menggeleng kaku. "Jevan bakal ngomong kalau Abang stop nyuruh Jevan maju."

     "Kita bahas di loteng. Abang buatin teh."

     "Ta—

     "—ke loteng Jevano."

     Jevano mendengus. Kalimat itu sudah tidak boleh di bantah lagi. Pada akhirnya Jevano tetap menuruti ucapan sang abang untuk menuju loteng. Entah, lah apa yang akan Rafa bahas lagi dengannya.

     Selepas menyeduh 2 gelas teh panas. Rafa beranjak menuju loteng. Menyusul Jevano yang sudah lebih dulu pergi ke sana. Mendudukkan dirinya di kursi samping Jevano. Menaruh dua gelas teh pada meja kecil yang berada di tengah-tengah keduanya.

     Seperti biasanya. Selama beberapa saat mereka hanya diam membisu. Menikmati keheningan yang menyelimuti keduanya. Mendesis kecil tatkala angin malam berhembus menabrak tubuh mereka yang hanya terbalut kaos dan celana boxer. Memang cari penyakit.

     "Abang minta maaf," ucap Rafa sebagai kalimat pembuka.

     "Minta maaf karena apa?"

     "Udah buat suasana canggung diantara abang sama Jevan."

     Jevano menghembuskan nafasnya. Alasan inilah yang selalu membuat Jevano tak pernah bisa marah dalam jangka lama dengan Rafa. Abangnya itu selalu datang pertama untuk meminta maaf. Tak peduli siapa yang salah dan apa masalahnya. Ia akan datang untuk membicarakan semuanya dan meminta maaf.

     "Jevan juga minta maaf karena udah gak sopan. Tapi Jevan gak bercanda, Bang. Jangan dorong Jevan lagi."

     Rafa tertawa kecil. Bibirnya menggapai pinggiran gelas. Menyecap teh panasnya. "Makasih udah mikirin abang sampai segitunya. Padahal Abang tau kalau masalah ini Karin yang jadi taruhannya," tuturnya selepas seteguk teh panas itu melintasi tenggorokannya.

Baluwarti || Hwang Renjun [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang