Extra Part [1]

662 77 10
                                    

     Sudah sekitar seminggu suasana rumah Mahanta tak baik-baik saja. Okay, ralat. Suasana hati Rafa yang tidak baik-baik saja. Tapi seluruh adiknya yang merasakan perbedaannya.

     Selama seminggu Rafa akan makan sendiri di kamarnya. Tidak banyak mengobrol dengan adiknya. Hingga menulis peringatan di loteng agar tidak boleh ada yang berani mengganggunya.

     Rafa pikir ia akan baik-baik saja setelah memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Nyatanya Rafa terlalu rapuh untuk menelan semua realita itu. Rafa juga sakit. Hanya saja ia enggan menumpahkan tangisannya. Ia hanya merasa bahwa laki-laki brengsek sepertinya tak boleh menangis. Di sana Nisya pasti lebih sakit darinya. Hingga ia sadar diri untuk tidak menangisi sesuatu yang merupakan kesalahannya.

     Sikap Rafa seminggu ini berpengaruh pada pekerjaannya. Semua hal yang mengganggunya dan tidak sesuai SOP akan ia habisi semuanya. Memarahi siapapun yang tidak becus menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan Sahira sekalipun ikut terkena imbasnya. Karena ia menyerahkan dokumen yang salah pada Rafa.

     Kini loteng menjadi tempat ternyamannya kembali selepas shalat Isya. Menghirup udara malam. Bertemankan secangkir teh panas. Di antara tenangnya suasana itu tiba-tiba kursi di sebelah kirinya tergeser. Rafa sudah bersiap akan menghardik orang itu karena berani mengganggunya yang padahal sudah jelas Rafa menempel sebuah tulisan JANGAN GANGGU RAFA di tangga sebelum menuju loteng. Hingga akhirnya ia sadar bahwa yang menggeser kursi itu adalah si sulung.

     Sedikit ketus Rafa berucap, "Rafa pikir abang bisa baca tulisan Rafa di tangga."

     Marka tak peduli ia menyeruput kopinya dengan tenang.

     Dan karena si sulung memilih diam. Rafa akhirnya bangkit untuk pergi ke kamarnya, sebelum si sulung mengintrupsi agar Rafa kembali duduk di sampingnya.

     "Jangan lari, abang mau ngomong."

     "Nanti lagi."

     "Jangan sampai abang perlu tarik kamu buat duduk, Raf."

     Rafa mendecak kesal. Akhirnya ia terduduk kembali dengan kesal. "Mau ngobrol apa, sih?" ketusnya tak suka jika acara damainya di ganggu.

     "Mau sampai berapa lama bersikap kaya gini?"

     "Gak tau."

     "Rafa udahan sama Nisya?"

     "Abang, kan yang minta?"

     Marka menghela nafasnya. Ia seperti berhadapan dengan Rafa umur 8 tahun yang cukup bebal. "Rafa sakit?"

     "Apa, sih gak nyambung?"

     "Abang tau Rafa sakit. Abang gak bisa prediksi segimana sakitnya Rafa. Di tinggalin lagi sama orang tersayang memang sakit, kan?"

     Kalimat itu berhasil membuat Rafa luluh. Egonya mulai tenggelam. Ia tertunduk dalam. Ingin rasanya menangis. Ia ingin memberitahu semua orang bahwa ia juga merasakan sakit yang Nisya rasakan.

     "Maaf kalau memang Rafa ngerasa kalau Abang yang membuat kalian mengakhiri hubungan kalian."

     Rafa menggeleng. "Keputusan Rafa buat akhirin semuanya. Abang gak salah."

     Laki-laki yang tengah tertunduk lesu itu tertawa hambar. "Karena pada akhirnya semuanya harus berakhir, kan, Bang? Minggu depan kita udah satu tahun. Ternyata Rafa gak berhasil sampai sana. Rafa jahat banget gak, sih, Bang?" lanjut si anak kedua.

     Marka tersenyum pilu. Ia pernah merasakan bagaimana sakitnya saat harus memutuskan sebuah hubungan hingga akhirnya sadar bahwa orang yang mengisi ruang di hati kita sudah tidak hadir eksistensinya. "Abang udah bilang ke Rafa, kan? Rafa akan menjadi orang yang jahat mau gimanapun kalian berhubungan. Entah lanjut atau berpisah."

Baluwarti || Hwang Renjun [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang