05. Cendol, Es Doger, dan Celana Persib..

35 2 0
                                    

Mata kuliah pertama selesai, dengan peluh yang bercucuran Haidar menenggak air dalam botol sampai habis. Napasnya masih terengah, dia melihat Tama di sampingnya diam memperhatikan kakinya. Dia menggunakan sepatu olahraga berwarna merah, seketika Hiadar ingat bahwa hobi anak itu adalah bermain sepak bola.

"Sagara.." suaranya membuat Tama seketika menoleh. "Kenapa dia selalu tendangin kaki lo?"

Yang ditanya berpikir sebentar, "Mungkin karena Tama suka sepak bola?"

Haidar mengehela napas, "Ayo masuk."

Dalam hatinya, ia akan menunggu anak itu terbuka dengan sendirinya. Dia tidak akan memaksa meski penasaran. Dia yakin orang-orang disekitarnya banyak yang ingin membantu, tapi apa alasan anak itu tidak pernah bertindak, tidak ada yang tahu.

Tama melihat punggung itu berjalan menjauh, dalam benaknya dia ingin sekali terbuka kepada Haidar. Berbagi cerita, bahkan jika Haidar mengizinkan, dia ingin berbagi tentang masalalu yang terus mengganggu pikirannya sampai sekarang.

Dia bangkit untuk mengejar, "A kantin yu?"

"Gak, gue langsung pulang."

"Dijemput lagi? Tama gak liat motor aa."

"Gue pulang jalan kaki."

"Ke Parahyangan?"

Haidar seketika ingat bahwa dia belum memberitahu Tama tentang tempat tinggal dia sekarang.

"Ke kost."

"Aa ngekost?"

"Iya."

"Kok gak ngasih tau Tama?"

"Harus banget lo tau?"

"Enggak juga, tap-

"Berisik."

Tama tidak mengerti kenapa Haidar tiba-tiba ketus seperti itu, tapi dia tetap mengekor kemanapun Haidar pergi. Bahkan hampir saja dia lupa dengan motor miliknya yang berada di parkiran. Tentu saja setelah dia membawa motor tersebut Haidar sudah menghilang dari jangkauan pandangnya.

Mengedarkan pandangan berharap dia masih bisa menjangkau punggung itu, namun nihil. Motor berwarna merah itu melaju perlahan dengan sang pemilik yang terus mengedarkan pandangan. Hingga sampailah dia disebuah kedai kopi.

Dia akan menemui keluarga barunya.

Setelah motor terparkir, dia berjalan melewati beberapa meja pengunjung kedai dengan helm yang masih menutupi kepalanya. Pintu kedua setelah kedai kopi ia lewati, senyum mereka menyambut kedatangannya.

"Aryaditama Nuraja!!" pekik pria berambut gondrong.

"Mang Ujang Sunarya!!" Tama menjawab dengan nada yang sama.

"Perbedaan nama yang cukup signifikan.." celetuk Parta.

Semua orang yang ada tergelak, mereka mendapati dua orang yang sangat beda generasi itu saling meneriaki nama satu sama lain.

"Ujang sama Aryaditama, kacida jauhna hahaha.." 

"Gandeng, nama kamu juga Pipit Suryaman. Pipit sama Aryaditama, sejauh naon coba?"

"Isa ke subuh.."

"Aduh.."

Ruangan berisi limabelas orang itu terasa sangat hangat bagi Tama, gelak tawa dari percakapan yang dibumbui candaan, dia akan terus merasakan hal itu di sini.

"Minggu gas hayu." mang Ujang kembali mendapat pembahasan.

"Kemana?" tanya Pipit.

"Keliling weh." jawab mang Ujang kembali.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang