18. Ardhanarèswari

17 3 0
                                    

"Kita udah berhasil nangkap empat dari mereka sesuai perintah."

"Bagus, bawa masuk, gue mau liat dulu muka mereka satu-satu."

Satu persatu manusia yang ditutup kain hitam itu masuk ke dalam ruangan, tangan mereka di ikat ke belakang bak tahanan, setelah sampai lutut bagian belakang empat orang itu ditendang untuk berlutut. Di buka nya kain hitam yang menutupi kepala— mereka kompak menyipit karena silau.

Sebenarnya mereka tahu siapa dalang dari semua ini setelah mendengar suaranya dari luar sebelum akhirnya mereka dipaksa masuk. Dia memiliki suara khas, siapapun yang mendengarnya akan langsung tahu siapa dia. Dan pada akhirnya mereka sadar, kecurigaan Sagara benar adanya— kumpulan ini sedang menyusun rencana untuk membalas dendam.

Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Alvin, Jaka, dan Hendra. Tapi mereka yakin, mereka akan berakhir sama dengan tiga orang tersebut.

"Kenapa pada gitu muka nya? Tenang aja, gue gak gigit." 

Siapa di sini yang masih menggunakan kata 'gue' selain Haidar. Namun, apa yang mereka lihat malam ini dan sebelumnya seperti berbeda, dia seperti bukan Haidar yang mereka keroyok. Anak yang tempramental, ceroboh, dan banyak bicara. 

Dia malam ini jauh lebih tenang, namun tenangnya membuat jantung berdebar— sorot mata yang tajam menusuk seperti siap menerkam siapapun yang mengusiknya.

Mendekat kemudian berjongkok untuk berhadapan langsung dengan empat orang sandraannya, Haidar membuat bibir mereka pucat pasih, meski belum melakukan apapun.

"Gue inget lo yang nendang perut gue berkali-kali hari itu." dia mengangkat dagu salah satu dari mereka. "Izinin gue bales kelakuan lo malam ini, ya?"

"Urang teu sieun." jawabnya.

"Urang minta izin, bukan nanya maneh sieun apa henteu." kalimat tersebut menjadi kalimat terpanjang Haidar menggunakan bahasa Sunda.

"Bacot anj—"

Bhuk!

"Ahh.. tadinya males banget nonjok orang. Lanjutin sok."

Haidar beranjak dari sana, melaju dengan motornya dengan kecepatan penuh— menuju kota, dan beraktivitas layaknya mahasiswa. Dia harus menge-print naskah narasi yang susah payah dikerjakan.

Dia mungkin pemimpin di Red Wolf, tapi di kampus masih ada Jihan. Setelah negosiasi tentang pembatalan kerja sama, ia terus diberi deadline pengerjaan naskah.

"Tumben malem banget Dar?" tanya penjaga tempat print tersebut.

"Susah mang, ini juga mikirnya lama banget."

"Haha~ untung saya masih buka."

"Bener lagi."

Heningnya keadaan sekitar membuat keduanya berbicara tanpa berteriak seperti biasanya— biasanya berbicara dengan penjaga tempat print ini perlu mengeleluarkan sedikit urat leher. Pasalnya toko tersebut berada di pinggir jalan dengan intensitas kendaraan yang tinggi, bising dari kendaraan tersebut membuat suara harus sedikit meninggi.

"Dar?"

"Kenapa mang?"

"Orang Jakarta tuh kalo ngomong gak bisa ya pake aku-kamu?"

"Bisa mang, cuma ya mungkin kebiasaannya pake lo-gue— jadi kedengerannya aneh kalo pake aku-kamu."

"Ahh gitu.. tapi mamang jadi inget.."

"Inget apa?"

"Pas hari jumat kemarin, hujan kan tuh, ada yang ngiuhan."

"Iya, terus?"

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang