09. Anantara Aksa

16 2 0
                                    

Suasana hening, berbau khas obat-obatan, cairan infus yang terus menetes hingga hampir setengahnya habis. Laki-laki yang terbaring di atas bangsal itu tak kunjung membuka mata, namun sesekali mata yang terpejam itu mengerjap, seperti banyak kejadian dibaliknya.

Menjelang pagi hari dari saat Tama dan Nala menemukan Haidar, selama itu pula mereka terdiam melihat tubuh lemah itu. 

Tama duduk di kursi sebelah Haidar, jelas ia melihat lebam dan robek pada wajah Haidar. Lalu kemudian hatinya terasa perih, air mata dan ingus tanpa permisi meluncur begitu saja hingga anak itu terisak.

"Jangan di tangisin Tam, dia cuma belum bangun tidur." ujar Nala yang berusaha menghentikan Tama menangis. Meski tidak sampai sesegukan, air matanya mengalir terus dari saat mereka tiba di rumah sakit.

"Kalau Sagara yang begini gara-gara Haidar, kamu bakal gimana Nal?" 

Gadis itu terdiam sejenak, "Sama kayak kamu, cuma bedanya.. mungkin gak bakal ada yang nenangin aku."

Tama melengos, entah kenapa tiba-tiba muncul rasa kesal pada Nala. "Kalo udah agak terang, kamu pulang aja."

Pandangannya turun, sejak awal dia mengutuk dirinya karena terlalu menyepelekan permintaan Haidar. Sungguh, dia tidak tahu bahwa hal seperti ini yang akan terjadi.

"Cara Sagara biar kamu jauh dari aku juga sama kayak gini." Tama kembali bersuara. "Cuma dia lakuin itu sendiri, gak keroyokan."

Mengingat dua tahun yang lalu, masa di mana mereka berteman baik. Saat pertama kali masuk sekolah menengah atas mereka tidak satu kelas, namun setelah ganti semester terjadi rolling sehingga keduanya berada dalam satu kelas.

Tama yang sangat diam itu menarik perhatian Nala, dalam artian Nala ingin mencoba berteman dengan si pendiam itu. Awalnya Tama merasa heran, kenapa ada gadis cantik yang ingin berkenalan bahkan berteman dengannya? Sedangkan selama dia bersekolah di situ belum ada yang mengajaknya berteman dengan akrab.

"Kamu kenapa mau temenan sama aku?" pertanyaan itu keluar setelah puas berkeliling bazar sekolah, Tama dan Nala duduk di bawah pohon mangga yang berada di depan kelas mereka.

"Emm.. aku ngerasa kita bisa satu frekuensi, jadi aku beraniin diri buat ngajak temenan." 

"Satu frekuensi gimana?"

"Kamu penuh sama imajinasi, aku bisa wujudin imajinasi kamu lewat lukisan."

"Aku gak ngerti.."

Nala tergelak, wajah bingung Tama terlihat sangat lucu.

"Aku liat segala alat sekolah kamu ada kaitannya sama galaksi bima sakti, jadi ya aku pikir imajinasi kamu luas soal itu."

"Ahh gitu.."

"Aku tebak kamu belum paham."

"Hehe, iya.."

Dari sejak itu keduanya berteman baik, Nala mencoba menjelaskan apa yang dimaksud satu frekuensi, lambat laun Tama paham dan mulai merasakan frekuensi itu.

Bahkan kalimat ada Tama pasti ada Nala terkenal dalam kelas mereka, lucu memang jika di ingat. Berboncengan di atas sepeda pink milik Nala di pagi hari menuju sekolah, Nala yang membonceng. Sebab sudah sebesar itu pun Tama belum pernah belajar naik sepeda.

Dan setelah Nala mengetahui hal tersebut, kegiatan pulang sekolah mereka adalah mengajari Tama naik sepeda. Meski beberapa kali sepeda Nala menjadi korban, seperti rem patah, rantai putus, apapun itu asal dia berhasil mengajari sahabatnya itu naik sepeda, bukan masalah.

Semuanya berjalan lancar, namun bukan Aryaditama jika jalan hidupnya semulus pantat bayi, jika masih ada Sagara, maka dia akan berusaha membuat pantat bayi itu alergi.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang