27. Gama Widya

10 1 1
                                    

Malam itu, langit dihiasi taburan bintang dengan satu bulan yang bulat sempurna—berhiaskan cahaya merah. Riuh itu terlihat sangat menyenangkan, penuh kegembiraan di dalamnya, gelak tawa bersautan. 

Malam ini menjadi malam terakhir rombongan itu berada di Kabupaten Bandung, besok pagi mereka akan kembali ke Kota, beraktifitas seperti biasa. 

Merangkul semua orang, menemukan hal menarik, tertawa bersama, malam itu Haidar yang lama hilang seperti kembali. Tak ada yang menyadari tentunya, mereka hanya tahu Haidar yang sedikit diam dengan tatapan tajam, sedikit serius juga, ingin serba cepat jika sudah memberi perintah.

Haidar sendiri sudah lama menyembunyikan itu, dia hanya ingin beradaptasi dengan lingkungan baru nya, tapi siapa sangka bahwa itu akan membuatnya berubah hampir seluruhnya.

Namun terlepas dari hal tersebut, kini, dia mulai nyaman dengan tempat barunya. Dia hanya beranjak dewasa, ada kalanya sifat itu bisa muncul kembali meski tak setiap saat. Jakarta memang tempatnya tumbuh, namun di bumi Bandung ini dia melanjutkan hidup.

"Cape euy ketawa mulu.." baru saja sebuah kalimat keluar, Jaya sudah kembali memegang perutnya karena tak tahan ingin tertawa. Bahkan Dudung yang mengekor dibelakangnya merasakan kaki berubah menjadi jeli saking lemasnya.

Mereka sudah selesai merayakan malam terakhir itu, tapi sampai tempat istirahat pun mereka terus mengingat apa saja yang terjadi.

"Lain.. urang baru inget Haidar itu anak teater.." Bian menyeka air mata yang keluar sebab tertawa.

Tak banyak yang Haidar lakukan sebenarnya, dia hanya menceritakan pengalaman hidupnya selama duapuluh satu tahun. Tapi entah mengapa manusia di sana sangat terpingkal.

"Yang paling urang inget—WOI WARNA PINK!" Teja kembali membuat tiga orang itu tergelak sampai tergeletak.

"Anjir—padahal cuma cerita melorotin celana, kenapa bisa se lucu ini.." Bian masih dengan air matanya yang terus keluar.

Sementara Dudung mencoba mengatur napasnya, "Cara cerita nya itu yang bikin ketawa.."dia terengah.

"Lagian nama geng kok Monyet Ragunan.." 

Mereka seperti tak mempunyai tenaga kembali untuk berbicara, seketika hening, beberapa menit kemudian terlelap. Malam yang menyenangkan tentunya, tapi jika topik pembicaraan terus tentang Haidar dimasa remaja, mereka tak bisa tidur, sementara besok pagi harus menempuh perjalanan jauh.

Hingga sampai pada pagi yang mengharuskan mereka pamit dari kesenangan di tempat itu, pada saudara Teja, pada udara sejuk di sana. Tiga hari yang memuaskan.

"Kenapa gak naik Ji?" saat semua orang sudah siap untuk menancap gas, ada dua jok belakang yang masih kosong.

"Bukanya kamu ngajak Nala buat bareng?"

Jihan menaiki jok belakang motor Tama yang masih kosong, sementara sang pemilik sudah siap dengan helm full face, dan sarung tangan. Haidar tak memiliki kata-kata untuk itu, dia terdiam sejenak. Lalu jok belakangnya terisi, dan mulai melaju memimpin. 

Sepanjang perjalanan kaca spion kirinya menjadi benda pantul yang sangat sering ia lihat, dalam diamnya pikiran itu berisik, tentang-- apakah tindakannya salah?

Keadaan di belakang sana sama seperti keadaanya, hanya fokus berkendara dan  sisanya menyaksikan pemandangan yang dilewati. Hingga tak sadar sudah memasuki Kota, beberapa orang mulai berpamitan dengan membunyikan klakson karena arah rumah mereka berbeda.

"Dar!"  Nala seketika berteriak saat hampir saja Haidar menghantam lubang jalan yang cukup besar. Motor itu berhenti seketika, namun bukan lubang besar yang Haidar lihat.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang