30. Lembayung Oranye di Fana Biru

11 2 2
                                    

Setelah kepergian Haidar, Nala masih terdiam di cafe itu. Memikirkan segala kemungkinan dan kalimat yang belum dan sudah ia dengar. Belum jauh dari hari laki-laki itu menggenggam tangannya untuk meyakinkan semuanya akan baik-baik saja, kenapa hari ini dia berbeda?

"Mau kamu apa, Haidar?" gadis itu bergumam.

Ia meninggalkan tempat tersebut. Perasaan yang awalnya sangat bahagia berubah seketika, banyak pikiran di dalamnya. Dengan langkah yang memiliki tempo cepat, oksigen serasa menipis, membuat dadanya sesak. 

"Hah! Hah.." dia membuang kasar napasnya, jika saja tempatnya berdiri bukan dipinggir jalan, mungkin satu teriakan sudah lepas bersamaan dengan napas yang keluar.

Dalam setiap langkah yang kembali ia ambil beberapa pertanyaan berputar dikepala, kenapa harus Jihan? Wanita sombong yang tak tahu terima kasih setelah dibantu menyelesaikan pentas teater. 

Setelah itu, rasa ingin mengalahkan Jihan dalam hal ini menjadi sangat menggebu. Saat ini Nala tak peduli apa akibat yang akan terjadi, tujuannya hanya mendapatkan Haidar dan mengalahkan gadis arogan itu.

.

Begitu pintu depan rumah dibuka, Haidar dapat merasakan bahwasanya sang kaka sudah tiba bersama keluarga kecilnya. Bukan apa, kakinya menginjak mainan milik Ara (anak dari kakak kandungnya), rasanya sangat sakit, tentu saja, tapi dia berusaha tidak berteriak.

"Dari mana?" 

Haidar yang masih kesakitan disambut dengan pertanyaan ketus dari kakak perempuannya.

"Bisa biasa aja gak nanya nya?" dia mengecek kakinya, apakah lecet atau tidak. "Ini juga, mainan di mana-mana."

"Kamu aja gak liat-liat."

Sudah bisa ditebak bahwa Haidar sangat gregetan mendengar itu dari kakak perempuannya, jika saja dia memiliki keberanian untuk melempar mainan yang diinjaknya pada Hayra.

Terlepas dari itu, Hiadar mana bisa marah pada keponakannya. Dia mencari kesana kemari, ternyata gadis kecil itu tengah menemani neneknya berkebun. Tentu saja anak itu tidak turut berkebun, dia hanya berdiri menonton Rabbids Invasion sambil makan lontong.

Dengan hanya begitu, Haidar bisa sangat kegemasan. Bagaimana tidak? Rambut kuncir dua, rok berwarna pink dengan kaki nya yang pendek itu. Dibawanya ia kedalam pelukan, dicium brutal sampai merengek, dan dari kejauhan neneknya sudah memantau.

"Eit jangan nangis, aa punya haidah buat Ara." dan ajaibnya gadis kecil itu tak jadi menangis.

"Tara!" Haidar memberikan boneka kelinci putih.

Suasana hati Ara langsung berubah, bibirnya tersenyum sampai mengeleuarkan giginya yang baru empat itu. Dan boneka kelinci itu terus dipeluk, kegiatannya menonton dan menemani sang nenek dilanjutkan.

Hari menjelang sore, lembaran oranye di fana biru menandakan bahwa— Haidar harus mandi. Dia akan kembali ke Kota untuk menemui Jihan, rasanya jarak itu tak terasa jauh lagi sekarang.

Laki-laki itu keluar dari kamar mandi dengan menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, satu handuk lain menutupi bagian bawah tubuhnya. Lalu ia mendengar dering ponselnya, nama Jihan tertera di layar.

"Halo?" dia mengangkat panggilan itu.

"Dar? Rumah kamu yang mana satu?" 

Haidar mengernyit, "Maksud kamu?"

"Ini aku ada di daerah rumah kamu, tadi siang kan aku bilang mau ketemu."

"Kita bisa ketemu di Bandung? Kenapa lo jauh-jauh ke sini?"

"Gak apa-apa, yang mana satu ini."

Haidar kalang kabut, "Eh.. bentar.. " ia meraih sembarang kaos yang ada dilemari nya. "Gue nunggu di depan rumah."

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang