37. Bentala Swastamita

9 3 0
                                    

Sudah tiga hari Haidar meninggalkan Bandung, Kecamatan Cisurupan, tempatnya kini menginjakkan kaki. Memang tak jauh dari Kota Bandung itu sendiri, namun mengingat dua benda yang dirampas oleh ayah nya— dia seperti bajingan yang mencoba lari dari masalah. 

Dengan peralatan mendaki gunung untuk pemula, ia mencoba hal baru yang tak pernah ia lakukan selama hidupnya. Kata orang-orang kegiatan itu bisa dilakukan saat patah hati, tapi jika dilihat lagi tak ada yang membawa peralatan selengkap dirinya. Dia terus mengadah menatap puncak, menunggu teman-temannya dibelakang, bagi pemula sepertinya, kecelakaan apa yang paling fatal? 

"Dar?" Rafael menepuk pundaknya.

"Siap?" tanya Putra.

"Siap!"

Mereka kini tinggal menempuh perjalanan awal dalam mendaki gunung setelah mendapat arahan dari para guide. Perjalanan dari pos empat itu masih cukup mudah untuk dilewati karena jalanan di sana cenderung datar, belum menanjak.

"Raf?" 

"Apa?"

"Nama Rafael kurang cocok buat orang Garut."

Putra tergelak, diikuti Haidar yang hanya bisa tersenyum, sementara Rafa berdecih sebal. 

Mereka bertiga baru saja kenal kemarin, saat Haidar sedang berjalan kaki sendiri melihat keadaan desa di sana. Jalan aspal yang terdapat banyak lubang, menanjak, dan sawah dipinggir jalan tersebut, dia ingin heran namun itu desa dekat pegunungan. Lalu di sana terdapat sebuah lapang dengan banyak anak kecil yang sedang bermain layangan. Mengingatkannya pada sebuah lapang di Jakarta sana, namun bedanya pemandangan di sini gunung, di sana gedung.

Tak hanya anak-anak, ibu dari anak itu sekalian berada di sana, orang seusianya, dan tak lupa bapak-bapak. Dilihatnya lagi, tak ada yang memegang telepon genggam. 

Satu layangan talinya putus, melayang tak tentu arah, kemudian jatuh di depannya. Orang-orang yang tengah berkumpul mengikuti kemana arah layangan itu jatuh. Haidar mengambilnya, mendekat untuk mengembalikan. Tentu saja orang-orang di sana seperti ingin bertanya, dia siapa? Dia dari mana?

"Boleh ikut main?"

Dia disambut hangat, bersamaan dengan itu, dia siapa dan dari mana asalnya terjawab begitu saja. Rafael adalah orang yang memberinya layang-layang, dan Putra yang membantunya menerbangkan layangan tersebut. Mereka sama seperti Haidar, seorang mahasiswa.

Lagi, banyak yang mengatakan bahwa laki-laki sangat mudah mendapatkan teman, mereka cenderung tak pilih-pilih soal itu. Baru beberapa menit berkenalan Rafael sudah sangat lancar berbicara banyak hal pada Haidar, sembari menerbangkan layang-layang di bawah matahari terik. Melihat itu, Haidar seperti menemukan Yosep dan Damar di orang yang berbeda.

"Besok kita mau naik gunung, kamu mau ikut, Dar?" tanya Putra.

"Gue belum pernah naik gunung," jawab Haidar yang fokus pada layangannya.

"Gunung nya ramah buat pemula, mending ikut aja," Rafael mencoba membujuk.

Haidar sedikit tertarik untuk itu, dia pulang dari lapang, kemudian terus mempertimbangkan ajakan Rafael dan Putra. 

Hingga sampailah dia dia kini di jalan setapak berbatu, kakinya sedikit ngilu, tak ada persiapan fisik sebelumnya, belum lagi perlengkapan yang ia bawa dipundak. Tapi dia tak akan menyerah dengan itu, jika dirinya sebagai gedung pencakar langit sudah runtuh, kenapa tidak ia taklukan gunung yang tingginya berkali lipat dari pencakar langit?

"Belum ada kabar Ji?" 

"Belum."

Damar bertanya pada Jihan yang terus murung dibangkunya selama tiga hari terakhir, kehilangan yang tiba-tiba itu membingungkan. Tak ada yang tahu kemana, jejaknya hilang begitu saja tersapu hujan. 

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang