07. Sketsa Abu-Abu

24 2 0
                                    

Berkas cahaya datang dari ventilasi di suatu ruangan, ia menyinari satu benda bersama sang tuan dihadapannya. Sunyi sepi, yang terdengar hanya goresan kuas dan sesekali helaan napas. Warna-warni dari cat setengah mengisi sketsa yang sebelumnya dibuat, terlihat tidak jelas dan berantakan.

Derap langkah begitu cepat mendekat, dibalik pintu rapat, siapakah gerangan yang mendekat?

"Nala?!"

Pintu terbuka kasar, namun manusia di dalam tidak terkejut sama sekali. Dia sudah tahu bahwa pintu itu akan terbanting saat mendengar derap langkah cepat.

Sketsa yang terbuat dari goresan pensil itu adalah gambar dari seseorang, tidak perlu contoh atau model untuk menggambarnya. Setiap saat, orang tersebut melekat dalam pikiran. Hingga mungkin setiap lekukan pada wajahnya sangat diketahui.

Ia merasa cukup puas dengan sketsanya kali ini, namun satu titik warna membuatnya kacau. Bukan sekali, lukisan dengan sketsa ini beberapa kali kacau hanya karena ia menambahkan warna.

Hal ini yang selanjutnya membuat pikiran tidak tenang. Bahwa kisah yang sedang ia perjuangkan hanya akan menjadi sketsa abu-abu tanpa ada warna cerah di dalamnya.

"Kamu gapapa kan? Gak di apa-apain?" air muka Sagara terlihat sangat khawatir, ia memegang erat kedua tangan Nala.

Sementara gadis itu hanya terdiam, dia sedang mencari tahu maksud dari kekhawatiran laki-laki itu.

"Nal?" dia memanggil sekali lagi.

"Aku gapapa, dia beneran cuma minta cuciin celana yang aku kotorin."

Sagara merasa lega setelah Nala bersuara. Dia sangat khawatir saat seseorang berbicara soal Haidar menatap nyalang gadis di depannya dua hari lalu. 

Setelah hatinya merasa tenang, dia melirik lukisan yang sedaritadi terlihat dari ekor matanya. Terlihat berantakan di sisi bagian kiri, namun sketsa sebelahnya masih utuh tak tersentuh warna.

"Kamu selalu ngelukis aku kayak gitu.." Nala mengikuti arah pandang Sagara.

Senyuman tipis tercipta dari bibir kecil gadis itu, "Kamu emang begitu.." keduanya menatap lukisan setengah jadi tersebut.

"Kamu adalah sketsa yang paling sering aku buat, setelah sketsa selesai aku selalu yakin bahwa warna akan membuatnya sempurna. Tapi saat aku coba buat nambahin warna, semuanya jadi kacau." Nala menghentikan kalimatnya hanya untuk menarik napas dalam, menimalisir sesak yang tiba-tiba datang dalam dadanya.

"Untuk itu, aku biarin satu sisi sketsa awal biar gak kesentuh kekacauan warna.."

Sagara hanya diam mematung mendengar penjelasan dari lukisan Nala, suasana disana kembali diselimuti keheningan, kebingungan, dan ke khawatiran. Sketsa dan warna, Sagara yakin ada sesuatu dari dua kata itu. Tapi dia benar-benar tidak mengerti apa maksudnya.

.

"Haidar, daun pohonnya warna abu-abu.." Jihan datang menegur anak laki-laki yang tengah mewarnai properti untuk pertunjukan teater perdana mereka.

Haidar mendongak hanya untuk mendapati teman perempuannya itu menolak pinggang dengan wajah yang lusuh. "Daun pohonnya ikutan abu-abu juga?" tanya nya.

Jihan mengangguk pelan, "Kan tema nya monokrom."

"Baru abis itu berevolusi jadi berwarna setelah menyelesaikan beberapa masalah." timpal laki-laki yang datang dengan sekarung bahan properti.

"Monokrom to color." Damar dan Jihan saling melengkapi kalimat untuk memberi penjelasan pada Haidar.

Ditengah sibuknya orang-orang menyiapkan properti, Tama datang membawa naskah dan mencoba mendalami karakternya. Haidar, Jihan, dan Damar di belakang berhenti sejenak untuk melihat aksi anak itu.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang