11. Tirai Pertunjukan

23 3 0
                                    

Tiba saatnya pertunjukan perdana dari seni teater digelar, setelah melewati beberapa minggu latihan kini mereka siap tampil di depan para rekan seangkatan, senior, dan para dosen.  Suasana sedikit berantakan di belakang panggung, masing-masing sibuk dengan persiapan. Ada yang masih menggunakan riasan, kostum, dan mencoba berlatih dialog.

Di depan cermin besar yang dikelilingi lampu, dua laki-laki berdiri. Satu sedang besiap-siap, sementara yang satunya tengah sibuk mengembungkan pipi. Maksudnya adalah menetralisir kegugupan.

"A, Tama deg-degan.."

"Yai iya, kan hidup."

"Bukan deg-degan itu."

"Terus apa dong?"

"Mau tampil depan banyak orang."

Cermin itu memantulkan wajah tampannya, jadi ia merasa tidak perlu menatap lawan bicaranya. 

Awalnya dia tidak pecaya diri, namun dia berusaha meyakinkan diri dengan menatap cermin yang menggantung di dinding kamar nya. Setelah sampai lokasi, dia kembali bertemu dengan cermin; ditambah dengan kostum yang dia pakai—dalam hatinya dia berkata, Aku adalah gedung pencakar langit diantara pepohonan yang rindang dan hijau.

"Tam?" dia menepuk pundak lawan bicaranya. "Bayangin lo tinggal di suatu wilayah yang rata-rata penduduknya berduit. Tapi, lo heran kenapa tinggi dan bentuk rumah mereka sama—"

"Mungkin itu wilayah perumahan?"

"Gue belum selesai ngomong."

"Oke.."

Haidar menenggak air mineral dalam gelas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Lo sebagai pendatang baru merasa heran dan mikir: kenapa gak ada satupun yang beda di daerah sini? Dengan pikiran itu lo punya ide untuk membuat sesuatu yang beda. Lo bikin gedung tinggi, lebih tinggi dari rumah mereka. Karena itu lo jadi satu-satunya orang yang punya gedung tinggi di wilayah itu. Semua orang gak bakal pro sama perbedaan, ada aja pasti yang kontra; tapi lo gak peduliin itu selagi gak rugiin banyak orang. Lo tinggi, kuat, berani beda. Dengan apa lo bangun semua itu? Dengan—"

"Uang?"

Dengan percaya diri dan tekad bulat.

Haidar seketika menyerah untuk membangun kepercayaan diri Tama.

"Untung gak jadi Canester kamu Tam.." 

Sang sutradara yang tengah memegang naskah bersama penulis itu menggeleng setelah Haidar meninggalkan Tama. Para pemeran yang menyaksikan tergelak, suasana tegang sedikit mencair meski Haidar sedikit kesal.

"Tirai dibuka lima menit lagi, semua udah siap, tinggal kalian tunjukkin hasil kerja keras selama latihan, oke?"

"Oke!"

Sebelum mulai, mereka menunduk untuk memanjatkan doa agar semuanya berjalan lancar. Dipimpin Benjamin, tangan-tangan itu menumpuk menjadi satu kemudian mereka bersuara dengan lantang meneriakan semangat.

Tirai terbuka, gemuruh tepuk tangan menyambut pemeran yang sudah berada dalam posisi sesuai naskah. Meski harus percaya diri di depan pemeran, jauh di lubuk hatinya, Benjamin merasa sedikit takut. Namun melihat para pemeran yang sudah menemukan kepercayaan diri masing-masing dan  mendengar gemuruh tepuk tangan membuatnya merasa tenang.

Adegan demi adegan terlewati dengan baik, gelak tawa terdengar di setiap adegan. Hingga saatnya berubah warna, semua orang menggila dengan Canester merah. Sungguh, mereka sedikit khawatir pentas teater itu berubah menjadi konser.

Benjamin harus menutup tirai itu.

Pada akhirnya tirai tertutup, pemeran menunduk.

Sorai dibalik panggung, saling mengucap bangga pada setiap pemeran. Mereka tahu ini bukan akhir, ini awal dari segala kegilaan panggung yang akan datang. Namun dengan awal yang sempurna, selalu mendorong semangat pada masa yang akan datang.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang