12. Vanalika

26 3 6
                                    

"Kenapa mah?"

"Kamu mau ikut gak?"

"Kemana?"

"Jakarta. Mamah sama teteh mau ambil perabotan yang masih ada di sana, takut kena rayap."

"Gimana nanti."

"Jangan gimana nanti, mamah berangkat besok."

"Iya nanti aa pikirin."

Sambungan itu terputus, namun sang pemilik masih menatap layar ponsel miliknya. Ruangan berisi duapuluh lima orang itu sangat membuatnya sesak. Tempat itu tidak sempit, luas dengan segala fasilitas yang dibutuhkan untuk nongkrong. 

"Mang Parta langsung lepas ke kamu Dar, jadi mau gimana?" 

Pertanyaan itu membuatnya sadar, semua mata tertuju padanya. 

"Ya udah we mereun, dia jadi ketua sekarang kalo gitu mah."

"Gak bisa gitu Ja, jadi ketua itu teu gampang. Haidar kudu siap lahir batin." 

Sampai sekarang Haidar tidak mengerti kenapa Parta menunjuknya sebagai ketua perkumpulan itu. Ada Juan yang selalu peduli, tau segala situasi, kenapa bukan dia?

"Bener kata Juan, gimana Dar?" Fajar turut bertanya.

Haidar masih terdiam, Tama di sampingnya mencoba menepuk pundak.

"Kita bicarain ini besok." dia tersadar.

Satu orang berdecak, "Ngulur waktu." 

"Cicing Teja." tegas Dika di sampingnya.

"Kata Juan, jadi ketua itu harus siap lahir batin kan? Gue perlu waktu buat siap."

Perlahan mulai terlihat anggukan dari para manusia yang berkumpul itu, mereka paham, memimpin sesuatu itu tak semudah kelihatannya. 

Haidar beranjak dari sofa tempatnya duduk, kemudian satu persatu mereka turut beranjak dari ruangan tersebut. Ada yang pulang, nongkrong kembali di kedai kopi, namun ada juga yang menetap untuk bermain game.

Malam itu, angin terasa bertiup lebih sering dari malam sebelumnya. Satu tangkai bunga matahari bergerak karenanya yang masuk melewati jendela. Ruangan yang tidak terlalu luas itu tak memiliki tempat yang pas selain dekat jendela untuk menyimpannya. 

Perhatian Tama langsung tertuju padanya, terdiam meruduk setelah diterpa angin sepoi. Telunjuknya mencoba membawanya tegak, namun dia kembali pada posisi merunduk.

"Lo yang kasih nomor gue ke Nala?"

Kegiatan Tama menoel si kuning terhenti. "Iya, katanya mau ngasih tau cara rawat bunga ini." dia kembali menyentuh kelopak bunga tersebut.

Satu botol besar minuman bersoda dikeluarkan dari mesin pendingin, di sampingnya terdapat gelas plastik berwarna pink dan biru. Ditenggaknya gelas berwarna pink itu oleh Haidar, setelahnya ia mengernyit memikirkan topik yang tengah dibahas dengan Tama.

"Tapi kenapa ya? Kayaknya dia makin gencar deketin gue." 

Tama menunggu kalimat selanjutnya dari Haidar.

"Dia sengaja mau nyelakain gue lewat Sagara?"

"Gak mungkin."

"Se-yakin itu?"

"Kalo dia kayak gitu, berarti lagi tertarik."

"Sama gue?"

Tama tidak menjawab.

"Sembilan belas lebih sebelas, cek notifikasi di jam itu."

Haidar semakin mngernyit, ada apa dengan anak itu? Setiap kalimatnya seperti menyampaikan sesuatu tapi sengaja di persingkat agar lawan bicaranya kebingungan.

SkyscraperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang